Pengusaha kuliner akan terus kehilangan laba jika masih bermitra dengan perusahaan aplikasi
Randy, manajer sebuah perusahaan start up teknologi finansial di Jakarta Utara tiba-tiba merasa lapar. Padahal, saat itu nyaris tengah malam dan pria 32 tahun ini masih di kantor untuk mengawasi proyek migrasi server website perusahannya.
Meski sebuah restoran burger cepat saji hanya berjarak beberapa lantai dari kantornya, dia lebih memilih menggunakan jasa pesan antar makanan.
Lagipula malam itu Randy "ngidam" Sop Kambing Bang Karim Tanah Abang. Cukup buka aplikasi dan klik pesan, makanan yang diinginkannya pun siap meluncur. "Lebih gampang dan kebetulan ada free ongkir. Jadinya lumayan murah," tuturnya girang.
Bagi Randy dan jutaan orang lainnya, kehadiran aplikasi delivery food adalah anugerah. Namun, tidak demikian halnya bagi pelaku bisnis kuliner yang jadi mitra aplikasi. Lho, kok bisa? Bukannya tingkat penjualan mitra terbukti membaik setelah gabung aplikasi?
Bisnis kuliner serba salah
Sejauh yang saya tahu, para pemain utama aplikasi pesan-antar makanan merupakan aplikasi transportasi online.Â
Perusahaan aplikasi itu adalah GO-JEK dengan GO-Food-nya, Grab dengan Grab-Food. Setelah Uber Asia Tenggara diakuisisi Grab, layanan delivery makanan milik Uber, Uber Eats, tidak lagi bisa diakses di Indonesia.
Layanan bisnis ini sebenarnya sangat sederhana. Pengguna cukup memilih makanan yang ada di aplikasi. Kurir membelikan makanan dan mengantarnya langsung ke tangan Anda. Bayar dan makanan pun siap disantap!