Mohon tunggu...
Suriyanto Bari
Suriyanto Bari Mohon Tunggu...

Berharap bisa belajar dari segala pengalaman hidup. Dari yang paling kecil sampai yang besar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Emas Hijau Lereng Temanggung

19 Juni 2011   02:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:23 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SEBATANG rokok selalu terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Asap sesekali keluar darimulutnya saat bercerita. Asap putih penuh zat nikotin yang hasil dari pembakaran tembakau.

Timbul (40) demikian nama laki-laki ini, petani tembakau asal Desa Petarangan, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung. Ia adalah salah satu petani tembakau di lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Ia mengaku, profesi petani tembakau adalah warisan orang tuanya yang juga bertani tanaman ini. Dari tembakau ini pula ia berhasil memenuhi kehidupan sehari-harinya. Dari mulai membangun rumah hingga menyekolahkan anak-anaknya.

“Tembakau ini benar-benar menghidupi kami,” kata Timbul. Ia tak bisa membayangkan bisa apa ia tanpa bertani tembakau. Ia merasa, tanah lereng Sindoro diciptakan Tuhan hanya untuk tanaman tembakau.

Bukan tak mau menanam tanaman khas dataran tinggi lain. Namun saat musim kemarau tiba, hanya tembakau yang tahan pada lahan kering.

Bukan itu saja, sinar matahari membuat kualitas tembakau menjadi semakin baik. Maklum, para petani tembakau di Temanggung tidak menggunakan teknlogi pengeringan tembakau.

Selain tidak cocok dengan lahan setempat dan musim kemarau, tanaman lain seperti kol, wortel, kentang, bawang dan cabai juga harganya tidak stabil. Ia mencontohkan harga jual cabe pada musim panen bisa anjlok Rp3.000. Sementara diperkirakan biaya penanaman hingga pemanenan perkilonya mencapai Rp5.000 hingga Rp7.000.

Untuk tanaman kopi yang harganya sedikit menjanjikan memiliki masa panen yang sangat lama hingga 3 tahun. “Mau makan apa kami sambil menunggu panen kopi,” ujarnya.

Masa tanam tembakau dimulai pada bulan April hingga November. Dalam kurun waktu empat bulan sejak penanaman, atau bulan Agustus, tembakau sudah mulai bisa dipanen meski dengan kualitas terendah atau sering disebut grade A.

Daun tembakau petikan pertama ini diperkirakan harganya Rp15 ribu hingga Rp25 ribu. Panenan kedua dan selanjutnya, kualitas tembakau semakin meningkat. Dari mulai Grade B hingga grade G atau H. Bahkan hingga grade I. Sementara harganya terus berlipat dibandingkan grade sebelumnya.

Kualitas terbaik tembakau panenan terkahir dipetik pada bulan November atau Desember. “Daun tembakau biasanya lebih tebal dan kandungan nikotinnya tinggi,” ujarnya.

Pada grade akhir inilah harga tembakau mencapai harga maksimal. Tidak jarang bahkan tembakau dihargai dengan menafikan harga grade sebelumnya. “Ya saling tawar saja bisa mencapai ratusan ribu,” katanya. Tembakau kualitas wahid ini yang kerap disebut dengan tembakau srintil.

Berwarna hitam pekat, tembakau ini punya cita rasa yang khas. Jangan mencoba melinting dan menghisapnya langsung tanpa campuran tembakau biasa. Mereka yang tidak biasa akan langsung merasakan sesak saat asap hasil pembakarannya.

Rekor penjualan tembakau srintil pernah mencapai Rp850 ribu di Desa Legok Sari, Kecamatan Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung.Sama halnya di Petarangan, di Legok Sari pun tembakau dipuja sebagai sebuah mata pencaharian.

Menurut Kepala Desa Legok Sari, Subakir, 100 persen warganya merupakan petani tembakau. Meski memiliki luas 185 hektar, namun lahan tembakau milik warga desa ini mencapai 400 hektar. “Petani kami banyak yang membuka lahan hingga ke luar desa,” kata Subakir.

Subakir mengklaim, tembakau yang di tanam di desanya merupakan tanama tembakau kualitas terbaik di Temanggung. “Kemoko 3 varietas asli Temanggung,” kata Subakir.

Kejayaan tembakau terjadi pada tahun 2009. Saat itu matahari musim kemarau bersinar baik. Kualitas tembakaupun meningkat dan melambungkan harganya. Dengan harga rata-rata tembakau Rp400 perkilogram setiap tahunnya, pada 2009 lalu, harga sempat meroket Rp850 ribu per kilogram.

Namun setahun berikutnya, musim tak mendukung. Musim penghujang datang lebih cepat pada tahun 2010. Matahari juga tidak seterik tahun 2009. Alhasil, pendapatan petani menurun pada tahun lalu.

Meski begitu, tidak ada kata rugi dalam kamus petani tembakau. Pundi-pundi uang tetap mengalir ke kantong para petani ini. Untuk tahun ini, Subakir memperkirakan harga tembakau tetap stabil mengingathingga Juni ini matahari sepertinya tetap berpihak pada petani.

Slamet, salah satu petani di desa ini menuturkan, dari menanam daun bernikotin itu ia bisa membeli mobil. Belum lagi membangun rumah berlantai dua dan dana pendidikan untuk anak-anaknya.

Di desa tertinggi di Temanggung ini, sulit untuk menemukan rumah kecil berlantai satu. Hampir semua rumah berdiri megah berlantai dua tanpa atap genteng.

Desain bangunan beratap lantai beton mendomunasi bangunan di desa ini. Tujuannya jelas untuk menjemur daun-daun tembakau yang baru dipanen.

Menurut Subakir, warga desanya rata-rata memang berstatus sejahtera dari menanam temnbakau. Hampir di setiap rumah terpakir mobil yang dibeli dari bertani tembakau. “Sekitar 70 persen warga punya mobil, kalau motor semua punya, bisa lebih dari satu,” ujarnya.

Diperkirakan, hanya dengan menanam tembakau salama enam bulan, warga bisa mengantongi pendapatan bersih sekitar Rp150 juta. Dengan perkiraan setiap warga bertani 1 hektar tembakau, pada masa panen 800 kilogram tembakau bisa didapat warga.

Harga rata-rata setiap tahunnya adalah Rp250 ribu atau Rp200 juta yang didapat warga. Sedangkan biaya pengolahannya diperkirakan sekitar Rp50 juta rupiah. Saat musim hujan turun, warga tetap bisa mencukupi kehidupannya dengan tanaman selingan seperti kol, cabai, bawang, wortel atau kentang. Namun hasilnya tidak semanis tembakau.

Primadona komoditas ini juga diakui oleh warga Desa Campur Rejo, Kecamatan Tretep. Tidak diketahui sejak kapan warga desa berketinggian 1.350 meter di atas permukaan laut ini menanam tembakau.

Tokoh masyarakat Campur Rejo, Muhaeri menuturkan, kakek buyutnya di desa tersebut sudah menanam tembakau. Namun berbeda dengan masa kecilnya dulu, pria 72 tahun ini mengaku tembakau membawa perubahan besar bagi desanya.

Jaman sealite kulo, griyo gendenge alang-alang,” katanya dalam bahasa jawa. Pada masa ia kecil, rumah hanya beratap rumbia dan berdinding geribik. Berbeda dengan sekarang di mana rumah-rumah tembok bata dan bergenteng telah berdiri megah. “Semuanya dari (menanam) tembakau,” kata Muhaeri. Dengan modal tembakau pula ia bisa menunaikan ibadah haji.

Belum lagi pembangunan desa infrastruktur desa seperti pengaspalan jalan dan pembangunan rumah ibadah. Enam buah masjid dan puluhan mushola berhasil dibangun warga dengan secara swadana. Nilainya mencapai miliaran rupiah. “Semuanya dari hasil menanam tembakau,” katanya. Belum lagi ratusan mobil milik warga yang setiap harinya berseliweran.

Namun sayangnya, kebanyakan petani tembakau belum bisa memanfaatkan penghasilannya untuk sebuah investasi. Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah, Wisnu Broto, petani tembakau lebih memilih menghambur-hamburkan uang hasil penjualan tembakau.

Berdasarkan catatan APTI, pada masa panen, rata-rata 50 ribu kilogram tembakau petani dibeli produsen rokok. Dengan tembakau sebanyak itu, dalam waktu tiga bulan Agustus sampai Desember, uang yang beredar di masyarakat mencapai Rp1 triliun.

“Jumlah itu melebihi APBD Temanggung,” kata Wisnu. Kebanyakan warga menggunakan uangnya untuk membeli kendaraan bermotor, membangun rumah atau menikahkan anaknya.”Bisa dicek ke Samsat berapa mereka mengeluarkan BPKB (buku pemilik kendaraan bermotor) saat masa panen” ujarnya.

Beberapa warga malah ada yang membeli lemari es. Padahal daerah lereng Gunung Perahu di mana Desa Campur Rejo berada terkenal sangat dingin.

Kepala Desa Campur Rejo, Agus Setiawan mengatakan, sulit untuk mengubah kebiasaan komsumtif petani tembakau di desanya. Khususnya mereka yang berpendidikan rendah. “Edukasi kepada mereka tetap ada, kami berharap mbok ya uang hasil panen jangan sekaligus dihabiskan,” katanya.

Namun sulit untuk merubah kondisi ini karena dinilai terlalu mencampuri urusan “dapur” sebuah keluarga.

APTI sendiri menurut Wisnu sudah mulai mencobanya dengan cara menggandeng produsen rokok sebagai mitra petani. Setiap tahunnya, digelontorkan beasiswa bagi anak petani tembakau hingga SMA. Syaratnya, anak penerima beasiswa tidak boleh nikahkan sebelum lulus SMA.

Selain itu penyuluhan terus dilakukan melalui aparat desa. Namun tetap saja petani sepertinya benar-benar tengah menikmati manisnya aroma tembakau. Tanaman yang kerap disebut sebagai emas hijau karena harganya yang menggiurkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun