Mohon tunggu...
Suriadi Dhafa3
Suriadi Dhafa3 Mohon Tunggu... statistisi

Statistisi

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar

Fenomena Kemarau Basah 2025: Tantangan dan Peluang bagi Pertanian Indonesia

1 Juli 2025   17:00 Diperbarui: 1 Juli 2025   16:10 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Hamparan padi pada areal sawah di daerah Yogyakarta (Sumber: Koleksi Pribadi)

Indonesia, sebagai negara agraris, sangat bergantung pada pola iklim untuk menjamin keberhasilan sektor pertaniannya. Prediksi akan terjadinya fenomena "Kemarau Basah" pada tahun 2025 menjadi sorotan utama bagi petani, peneliti, dan para pengambil kebijakan. Istilah "Kemarau Basah" merujuk pada kondisi musim kemarau yang tidak sepenuhnya kering, melainkan masih diselingi oleh curah hujan yang tinggi atau di atas rata-rata. Fenomena ini kerap dikaitkan dengan anomali iklim global seperti La Nia dan Indian Ocean Dipole (IOD) negatif, yang membawa dampak kompleks terhadap produktivitas pertanian di berbagai wilayah nusantara.

Kemunculan Kemarau Basah merupakan cerminan nyata dari perubahan iklim global yang semakin menantang pola konvensional dalam mengelola musim. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa Kemarau Basah tidak hanya semakin sering terjadi, tetapi juga cenderung berlangsung lebih lama. Kejadian serupa telah tercatat pada tahun 2010, 2013, 2016, 2020, dan 2023, serta diproyeksikan akan kembali terjadi pada tahun 2025. Pola ini menandakan perlunya kewaspadaan serta kesiapan adaptasi dari seluruh pemangku kepentingan di sektor pertanian.

Memahami Kemarau Basah dan Penyebabnya

Secara historis, musim kemarau di Indonesia ditandai dengan minimnya curah hujan, ideal untuk pengeringan hasil panen tertentu dan persiapan lahan. Namun, Kemarau Basah mengacaukan pola ini. La Nina, misalnya, adalah fenomena pendinginan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian timur dan tengah yang mendorong peningkatan curah hujan di wilayah tropis, termasuk Indonesia. Begitu pula dengan IOD negatif, di mana suhu permukaan laut di bagian timur Samudra Hindia lebih hangat dibandingkan bagian barat, juga dapat memicu peningkatan curah hujan di Indonesia bagian barat.

Untuk tahun 2025, prediksi Kemarau Basah masih perlu dikonfirmasi lebih lanjut oleh lembaga meteorologi seperti BMKG, namun indikator awal menunjukkan potensi terjadinya kondisi ini. Faktor-faktor seperti perubahan iklim global dan interaksi kompleks antara atmosfer dan lautan menjadi penentu utama.

Dampak Kemarau Basah terhadap Pertanian Indonesia

Fenomena Kemarau Basah membawa beragam dampak terhadap sektor pertanian, baik yang bersifat negatif maupun positif. Di sisi negatif, kondisi kelembapan tinggi yang disertai suhu hangat selama periode ini menjadi lingkungan ideal bagi berkembangnya hama dan penyakit tanaman. Serangan organisme pengganggu seperti wereng dan tikus, serta penyakit tanaman seperti blas dan busuk batang, cenderung meningkat, yang pada akhirnya berpotensi menurunkan kualitas dan kuantitas hasil panen.

Selain itu, meskipun secara istilah disebut "kemarau", intensitas hujan yang tinggi dan tidak menentu dapat memicu banjir lokal, genangan di lahan pertanian, dan bahkan longsor di wilayah perbukitan. Tanaman yang sensitif terhadap genangan, seperti padi pada fase tertentu dan berbagai komoditas hortikultura, sangat rentan mengalami gagal panen. Dampak lainnya adalah kesulitan dalam proses pengeringan hasil panen. Komoditas seperti padi, jagung, kopi, dan kakao yang biasanya dikeringkan di bawah sinar matahari akan terganggu proses pascapanennya, meningkatkan risiko tumbuhnya jamur dan penurunan mutu produk.

Lebih lanjut, curah hujan berlebih juga berdampak negatif pada kualitas tanah. Pencucian unsur hara (leaching) serta erosi dapat terjadi jika pengelolaan air tidak memadai, yang dalam jangka panjang menurunkan kesuburan lahan. Kondisi iklim yang tidak menentu juga menyebabkan ketidakpastian dalam menentukan waktu tanam. Siklus tanam yang biasanya diandalkan petani menjadi terganggu, sehingga produktivitas pertanian ikut terdampak.

Namun demikian, Kemarau Basah tidak sepenuhnya membawa kerugian. Di beberapa wilayah yang kerap mengalami kekeringan, fenomena ini justru memberikan peluang dengan tersedianya pasokan air yang lebih stabil. Daerah-daerah tadah hujan atau yang bergantung pada irigasi manual dapat memanfaatkan kondisi ini untuk memperluas lahan tanam atau mempercepat musim tanam. Tanaman yang membutuhkan banyak air seperti padi sawah bahkan berpotensi mengalami peningkatan produktivitas, selama air tidak menggenangi lahan secara berlebihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun