Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bermunajat di Masjid Desa Jala

15 November 2021   03:49 Diperbarui: 15 November 2021   05:55 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ADZAN magrib baru saja berkumandang di pelantang masjid. Langit sore mulai dihinggapi kegelapan malam. Lamat-lamat. Mentari kembali ke peraduan. Menunggu akhirnya malam baru kembali menyapu semesta. Silih berganti tanpa pernah berselisih. Harmonis. Instruksi tuhan dipatuhinya penuh ketundukkan. Alam memang di atur dengan rapih oleh sang pencipta. Manusia hanya di minta menjaga dan merawatnya. Tidak lebih. Bahkan tuhan dengan gamblang mengungkapkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi manfaat bagi semesta.

Dokpri. Masjid Desa Jala
Dokpri. Masjid Desa Jala
Adzan magrib telah usai. Hamba tuhan  di sapa setiap lima kali sehari. Ada yang patuh, lalu bergegas kemudian bersujud. Sejurus kemudian merapalkan doa segala rupa memohon pengabulan dari pemilik semesta. Namun demikian, tidak sedikit pula yang acuh tak acuh dan menganggapnya sebagai angin lalu. Bisa ditunaikan di lain waktu. Di remehkan tanpa menyadari malaikat mau membayangi. Mengintai. Wahai manusia sadarlah, sebelum keranda mayat menjadi kendaraan pengantar mu kelian lahat. Tempat terakhir yang di khawatirkan semua umat manusia.

Dan karena tidak ingin di kutuk nasib, saya bergegas, mengayunkan langkah. Lalu memantapkan diri sembari bermunajat kepada tuhan semoga amal ini bisa menjadi modal ketika menghadapnya kelak. Di gang kampung terlihat hanya beberapa yang menuju masjid. Kebanyakan orang tua yang sekira umurnya sudah lima puluhan tahun ke atas. Ada pula anak-anak yang meramaikan rumah tuhan ini. Sebagai umat muslim yang masih berkubang dosa, saya taat adab. Ambil air wudhu, sholat dua rakaat sembari menunggu Iqamah. Hanya satu syaf lebih. Tidak lebih. Hanya segitu yang di dominasi sesepuh kampung.

Di masjid  Desa Jala saya menjalankan salah satu perintah tuhan. Shalat. Tidak sekedar menggugurkan kewajiban, tapi lebih mempersiapkan diri sebelum semuanya berakhir. Saya menyadari bahwa tidak ada yang kekal. Semua hanya sementara dan persinggahan saja. Tidak ada yang benar-benar milik kita sepenuhnya. Semua pasti di makan usia. Hilang bersama lajunya waktu. Tergantikan dengan generasi yang lain yang lebih fresh kala keriput tanda penuaan yang menghinggapi kita.

Sebelum benar-benar meninggalkan masjid, saya sejenak merenung makna dan tujuan hidup ini. Dalam renungan di ujung karpet masjid, bulir-bulir kristal turun tanpa sadar di kelopak mata. Saya mengakumulasi dosa. Kekhilafan. Merenungi kesalahan itu. Menyadari sepenuh hati, sembari berjanji untuk tidak mengulanginya. Tangan menengadah ke langit merapalkan doa. Bermunajat kepada yang maha kuasa.

Tiba-tiba, saya teringat ceramah ustadz kala menunaikan sholat Jumat di suatu hari. Bahwa manusia adalah sumber kesalahan. Tapi menurutnya, sebaik-baiknya manusia yang berdosa adalah mereka segera bertobat. Tobat nasuha. Karena tidak ada manusia di dunia ini yang tidak pernah melakukan kesalahan. Maka penting untuk saling mengingatkan satu sama lain, tanpa harus menggurui. Termasuk mengingatkan pada diri sendiri untuk terus menjalankan segala apa yang diperintahkan, serta menjauhi segala larangannya.

Saya merasakan suasana yang cukup adem selama di dalam masjid. Relung-relung hati di sapu iman. Dosa yang berkarat serupa mendapat siraman air ketenangan kala mendengar ayat suci di lantunkan dengan merdu oleh seseorang di depan mimbar masjid. Pakaiannya berjubah. Jenggotnya memanjang. Ia dengan fasih melantunkan setiap barisan ayat tuhan di depannya. Saya tampak memperhatikannya. Ingin hati menghampirinya, tapi khawatir menggelayut di benak. Jadilah saya tetap di sini, tempat dimana saya bermunajat kepada sang khaliq.

Dari kejauhan deburan ombak lamat-lamat masih terdengar. Saya tampaknya harus kembali melanjutkan aktivitas sebagai anak manusia yang bergumul dengan urusan dunia. Dan mencoba memberi keseimbangan pada urusan akhirat yang pasti akan di jumpai kelak. Siraman keyakinan ini semoga tetap menuntun agar tidak tergelincir pada urusan dunia yang serba menipu dan melelahkan.

Kepada sang khaliq saya berserah diri. Tempat bersandar dalam semua urusan dunia, terlebih perkara alam akhirat.  Kepadanya semua akan berpulang, karena dialah yang menciptakan semesta ini. Dan saya sebagai hambanya hanya bisa berharap dan terus  berharap agar di beri kemudahan serta kebahagiaan yang menyertai dalam setiap gerak kehidupan bersama lajunya waktu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun