Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Merah Putih di Tengah Hamparan Persawahan

15 Agustus 2021   06:13 Diperbarui: 15 Agustus 2021   06:43 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DI tengah deru zaman, kita mestinya tidak boleh meninggalkan jejak masa lalu yang telah membawa kita bisa berpijak seperti sekarang ini. Perjalanan kebangsaan kita sudah cukup matang dalam menyikapi serta merespon segala problem yang menghinggapi.

Kita memang tidak boleh terjebak terhadap keterpurukan masa lalu. Terlebih eforia yang berlebihan terhadap kemenangan-kemenangan yang diraih oleh para pendahulu kita. 

Tapi, dengan menengoknya kembali, bisa menjadi pijakan sebagai pelecut untuk membawa bangsa ini bisa lebih mengangkasa ke udara. Sejajar dengan bangsa lain, paling tidak. Belajar pada masa lalu untuk masa depan yang cerah.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Itulah yang ingin saya ajarkan kepada jagoan saya yang berumur tiga tahun ini. Di bawah terik matahari sore, saya mengajaknya ke sawah. Bertiga dengan istri, kami berjalan kaki menuju persawahan, Sabtu, 14 Agustus 2021, pukul 16:30 Wita.

Tidak terlalu jauh. Hanya sekitaran lima kali selemparan batu orang dewasa. Namun jalan menuju tempat tujuan penuh dengan kerikil. Belum di aspal licin. Ini jalan ekonomi.  Bukan jalan akutansi. Tapi cukup penting bagi masyarakat desa Tenga, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Akses masyarakat ke dan dari sawah nampaknya hanya jalan ini yang dilaluinya.

Kami berjalan bersisian. Sesekali jagoan kecil saya berlarian kecil melewati saya dan istri. Sesekali istri saya berteriak memanggil. Sebagai ibu, nampaknya istri saya khawatir anaknya jatuh dan terpeleset. Tapi begitulah seorang anak. Panggilan beberapa kali hanya digubrisnya dengan tertawa dan terus berlari.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Saya terus memantaunya. Di pematang sawah saya menggendongnya. Memeluknya erat. Seperti istri, saya menaruh kekhawatiran jika ia terjatuh. Pasalnya, di beberapa titik pematang sawah yang dilalui, terdapat onggokan batu besar yang bisa membahayakan siapapun jika terpeleset. Tak terkecuali jagoan kecil saya ini.

Kali ini  kami datang menggali ubi jalar yang ditanam mertua saya. Satu petak. Namun cukup besar. Terlihat hamparan persawahan cukup luas. Ada banyak tanaman. Ubi jalar, jagung, bawang merah, kacang panjang, merupakan komoditi yang ditanam warga setempat. 

Air bor merupakan sumber air untuk menyiram semua tanaman ini. Walaupun ada bendungan Pelaparado di selatan kabupaten, tapi tak cukup menjangkau persawahan warga di  belakang kampung ini.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Tak  berselang lama, istri mengambil bendera merah putih dari dalam tas yang ditentengnya. Menurutnya, dalam menyambut hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-76 ini, kita perlu merayakannya walau dengan mengibarkan merah putih di persawahan. 

Saya mengangguk lalu memegang masing-masing sisi  bendera dengan jagoan kecil saya, dan kemudian istri memotret dengan camera hand phone merek Xiaomi. Hasil jebretannya tidak begitu mengecewakan. Kami melihatnya usai di foto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun