SAYA mulai menyadari tentang makna suatu perjuangan, setelah berinteraksi dengan banyak orang. Beragam profesi pula. Bahwa pengalaman memang guru terbaik yang akan mendidik kita dengan begitu baik. Benar pula anjuran sang khalik, sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat kepada sesama.
Bahkan pernak pernik kehidupan: harta, jabatan, prestise menjadi 'tuhan' baru bagi segelintir orang untuk disembah dan di puja setiap saat. Jika seseorang tidak memiliki salah satu di antaranya, malah dianggap tidak penting dalam interaksi sosial. Mereka tidak 'dianggap', di sepelekan, dicampakkan, bahwa diremehkan. Miris bukan. Manusia telah diukur dan di nilai berdasarkan seberapa besar pengaruh dunianya. Bukan karena hakekatnya sebagai manusia.
Saya mendengar, merasakan, dan mencoba menikmati perjalanan hidup ini. Bahkan sampai saat ini. Saya mencoba berbuat sesuatu untuk kemaslahatan bersama, walaupun itu dipandang remeh oleh sebagian kalangan. Saya terus meyakinkan diri, bahwa perintah tuhan pastilah benar. Sembari belajar kepada sahabat-sahabat terbaik yang mendedikasikan hidupnya untuk kemaslahatan banyak orang. Sahabat-sahabat ini, mereka bekerja dalam sunyi. Mereka tidak banyak dikenal, tetapi aksinya telah memberikan inspirasi banyak orang. Mereka tidak memburu ketenaran, pujian, dan juga keakuan karena telah berbuat. Mereka tidak pernah merasa berjasa karena telah berbuat perubahan. Mereka seperti padi yang semakin berbuah lebat, tapi tetap merendah.
Saya salut pada mereka. Bagi saya, mereka anak muda hebat yang telah mendedikasikan hidupnya untuk sesama. Saya mencoba belajar dari cara-cara yang mereka lakukan. Salah satu yang menggugah perasaan saya adalah mereka memandang sampah dari sesuatu yang tidak bernilai menjadi bernilai. Tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga perlahan merubah mindset masyarakat banyak tentang perlunya melihat sampah sebagai sesuatu yang memiliki nilai guna.
Saya sadar, ketika meretas jalan ini, akan ada gelombang besar bernama, cibiran, hinaan yang akan datang menghujam. Gelombang itu mencoba menghantam keyakinan saya yang sedang disiram oleh mata air inspirasi dari pengalaman sahabat-sahabat baik saya. Saya mencoba tegar, terus meyakinkan diri, bahwa gelombang pasti akan surut. Gelombang itu tidak akan lama, dan pasti berakhir. Kemudian saya pun akan meluncur cukup mudah dengan papan keyakinan untuk menggapai mahligai tujuan.
Jalan yang saya pilih memang cukup sepi, bahkan sunyi. Tidak banyak anak muda yang memilihnya. Karena jalan ini, bukan saja kotor secara fisik, tapi tidak bernilai di mata sosial. Memungut dan mengumpulkan sampah masih dianggap bukanlah suatu pekerjaan. Ketika ada yang melakukannya, akan di nilai kurang baik oleh banyak orang. Terlebih di lakukan oleh orang seperti saya yang keluaran perguruan tinggi dengan gelar strata dua. Tentu sangat mustahil di lakukan dan di pilih. Bahkan tidak sedikit dianggap aib. Masa S2 menjadi pemulung?.
Tapi di luar sana, saya juga berkawan dengan anak-anak muda yang pandai beretorika. Mereka merapalkan banyak teori dan konsep. Bahkan dengan mudah menyebut nama-nama orang yang menguatkan argumennya. Saya sering berdiskusi dengan mereka di kedai kopi. Sampai saat ini, mereka hanya mengulang-ngulang konsep usang yang hampir tidak pernah mereka lakukan sendiri. Anak-anak muda seperti ini, hanya pandai menilai, mencibir, bahkan tidak jarang nyinyir. Dalam pandangannya tidak ada yang sempurna. Tapi sayang, mereka sendiri tidak berbuat apa-apa.
Saya bersyukur mengenal mereka. Mereka juga manjadi warna lain dari dunia yang saya jalani. Mereka hadir dalam kehidupan saya dengan gambaran karakter manusia yang hanya bisa membual dalam banyak kesempatan. Mereka seolah menjadi orang sangat berjasa. Hebat. Ketika sudah berbicara sesuatu tanpa pernah  merasakan getirnya tindakan. Mereka hanyalah pembual ulung, dan menikmati kehidupannya, hanya dengan melontarkan narasi-narasi sampah kepada banyak orang. Termasuk mencoba meyakinkan saya, dengan segala argumen sampah yang sering mereka rapalkan.
Apakah mereka sampah? Anda punya kewenangan menilainya.