Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berikan Judul pada Tulisan Ini Jika Pernah Berada di Kota Daeng

19 September 2020   12:51 Diperbarui: 19 September 2020   13:31 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Association of Lakey Students (ATLAS) 

BERSAUDARA memang tidak harus sedarah. Itulah ungkapan yang tepat disematkan kepada kami yang memutuskan merantau di kota Daeng. Jauh dari orang tua dan keluarga dengan tujuan menimba ilmu, telah menautkan persaudaraan sesama anak perantauan. Bahkan untuk lebih menguatkan lagi hubungan persaudaraan itu, kami ikat dengan satu nama lembaga yang menaungi semua orang.

Kami  berasal dari kecamatan Hu'u, kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Untuk sampai di kota Makassar, umumnya kami menaiki kapal di pelabuhan Bima. Dari pelabuhan, kami harus menghabiskan waktu sekitar 24 jam perjalanan laut untuk sampai di kota tujuan. Jangan pernah membayangkan bagaimana sulit dan ribetnya perjalanan.

Di pelabuhan saja, kami harus sekuat baja berhimpitan dengan penumpang lain ketika naik di atas kapal. Ketika di kapal, jangan membayangkan tidur beralaskan kasur dengan bantal yang empuk. Cukuplah bersyukur kalau mendapatkan pelataran kapal yang sedikit luas, sehingga bisa berbagi tempat dengan barang bawaan. Ketika malam tiba, angin laut akan menyapa dan menusuk kulit setiap penumpang yang tidak sempat mendapat tempat  tidur di bagian dalam kapal. Begitu pun ketika kapal bersandar di pelabuhan tujuan. Kami akan berhimpitan lagi dengan para buru pelabuhan yang berjudi dengan  waktu untuk mendapatkan lembaran rupiah.
 

Dokpri
Dokpri
Itu sekilas gambaran yang dialami oleh kami yang pernah memutuskan menimba ilmu di kota para Daeng. Mungkin kondisi yang demikianlah yang menguatkan rasa persaudaraan kami di tanah perantauan. Sehingga setiap ada yang datang, maka akan disambut sebagai keluarga, dengan harapan agar mereka bisa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Di antara kami membimbing, mengarahkan dan bahkan memberikan pelajaran-pelajaran penting sebelum mereka benar-benar memahami bagaimana menjalani kehidupan di tanah perantauan. Seolah menjadi beban moril bagi yang duluan datang kepada mereka yang baru pertama kali merasakan hiruk-pikuk dunia perkotaan. Bahkan itu menjadi tradisi setiap tahunnya untuk menyambut siapa saja dari kampung yang memilih menimba ilmu di kotanya Sultan Hasanuddin.

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri
Saya sendiri ikut merasakan bagaimana perjalanan menjadi mahasiswa perantau. Jauh dari keluarga memang bukanlah hal yang mudah. Tapi demi harapan akan masa depan yang lebih baik, maka pilihan itu diambil. Di awal memang sulit. Karena kebiasaan di kampung, serta adaptasi dengan suasana baru menjadi sulit ketika diawal menginjakkan kaki di tanah perantauan. Namun, seiring berjalannya waktu, semua itu bisa di lalui, walaupun tidak selamanya berjalan mulus. Tinggal di perantauan, bukanlah hal yang mudah, tetapi sangat berkesan dan memberikan pelajaran penting dalam menjalani rimba raya kehidupan hingga saat ini.

Memang ada banyak kepingan kisah yang tidak bisa ulas lagi. Tidak semua kenangan itu bisa teringat lagi, karena benak ini tidak cukup kuat menyimpan semua file kehidupan yang pernah terukir di masa lalu. Namun demikian, lapisan-lapisan kenangan itu masih terasa dan kadang menyeruak dalam kesendirian. Tapi di antara sekian yang pernah dijalani, masih segar untuk diceritakan kembali. Kadang kami tersenyum ketika mengingat masa-masa itu. Masa di mana kami menyulam kisah sebagai anak perantau, yang berani memilih jauh dari kampung halaman.

Kini, lapisan-lapisan kenangan itu muncul kembali ketika saya sempat membuka album lama. Ternyata, saya pernah bersama yang lain dan mengukir kisah indah tentang kebersamaan dalam ikatan kekeluargaan sesama perantau. Terlihat benar raut wajah kami yang berbeda jika dibandingkan dengan saat ini. Tapi itulah kenyataannya, di mana kami pernah berada pada satu titik, untuk bersama dalam satu tujuan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun