DI era kekinian menjaga nilai budaya agar tetap mekar sepanjang waktu bukanlah hal yang mudah. Seiring pergantian masa, nilai-nilai itu ikut mengalami pergeseran.Â
Tidak banyak generasi yang mendedikasikan hidupnya untuk mewariskan kebiasaan pendahulu. Ada beragam alasan yang menjadi dasar pemikiran, sehingga generasi milenial enggang mengambil bagian mempertahankan budayanya.
Mulai rasa malu dianggap ke tinggalan zaman, hingga dianggap tidak mengikuti trend kalau menjadi tameng budaya. Bahkan alasan-alasan yang lebih tenar dari itu. Jika sekilas diamati, budaya seolah dipahami tampilan luarnya saja.Â
Orang akan disebut berbudaya jika menari dengan mengenakan tarian adat di acara tertentu: ikut lomba maupun pada acara-acara penyambutan. Bahkan budaya seolah diukur seberapa banyak membaca banyak publikasi tentang itu. Seberapa sering mengenakan pakaian adat dalam acara resmi di kampung atau suatu festival yang bertemakan budaya.
Jika seperti itu indikator seseorang disebut berbudaya. Tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Budaya terasa hampa jika seperti itu pengertiannya. Nampaknya kehilangan nilai dan tidak bermakna. Budaya seolah tidak dijiwai menjadi mata air penggerak dalam ucap dan laku dalam berinteraksi dengan siapa pun.Â
Sehingga tak perlu kaget seorang pejabat di suatu daerah yang berpidato dengan mengenakan pakaian adat, lalu sejurus kemudian tertangkap tangan oleh KPK karena korupsi.Â
Hal serupa, seorang gadis cantik melenggang lenggok menarikan tarian daerah lengkap dengan pakaiannya di atas panggung, dengan tepuk tangan penonton yang membahana di udara.Â
Setelah acara selesai, pakaiannya diganti dengan yang lebih feminim, dimana bagian tubuhnya terlihat seksi di pandang mata. Praktek budaya seakan begitu 'diperkosa' sedemikian rupa oleh arus zaman lewat tingkat laku manusia yang mendewakannya.
Budaya telah menjadi seremonial belaka, yang hanya memenuhi sahwat seseorang yang ingin agar pundi-pundi rupiah bisa digelontorkan hanya sebuah acara yang bertajuk budaya. Tidak ada yang salah secara fisik. Tapi nilai-nilainya menjadi terkomersilkan. Acaranya menjadi hampa dan kehilangan subtansi.
Memang tidak semua demikian. Masyarakat Bali, Dayak, Sasak, Papua pedalaman masih setia menjaga warisan leluhurnya. Mereka memandang budaya tidak hanya sekedar dipertuturkan. Dipertunjukkan. Tapi mengawetkannya dalam rasa yang berwujud dalam ucap dan laku dalam kesehariannya.
Menjaga nilai budaya tidak lantas dimaknai menolak modernitas. Modernitas dengan segala perangkatnya telah menjadi kekuatan yang sulit untuk dihindari. Dengan media, unsur modernitas seperti pakaian, peralatan teknologi telah menghujam batas-batas budaya yang diyakini memiliki nilai sakral bagi masyarakat tertentu.
Tetapi menjaga nilai budaya bukan berarti tidak perlu bergaul dengan siapa pun di luar komunitasnya. Bukan menghindari sesuatu yang baru. Bukan pula harus ekslusif, lalu memandang sesuatu yang di luar kebiasaan yang diwariskan para leluhur harus dihujat, dimaki dan hindari. Menjaga nilai budaya dengan lebih memahami, mempraktikkan, baik hubungan antar manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan mahal pencipta.
Yang harus dimaknai menjaga nilai budaya itu, semisal ketika bersua dengan orang asing, kita tidak perlu harus seperti mereka hanya karena ingin disebut moderen. Tidak perlu memaksakan berpakaian feminim hanya karena khawatir disebut ketinggalan zaman. Bahkan  jangan memaksakan diri untuk menggunakan handphone moderen tanpa tahu menggunakannya hanya karena takut disebut gaptek.
Hiduplah apa adanya dengan tetap menjaga nilai budaya yang diwariskan leluhur sebagai identitas. Nilainya akan menjadi kompas petunjuk dalam menapaki hari. Kini dan dimasa mendatang. Tak perlu jauh menyebrang samudera hanya ingin mendalami ilmu tentang interaksi sosial kemasyarakatan.Â