Memilih pemimpin yang “demokratis” atau memilih pemimpin dengan “cara demokratis.”
Yang dimaksud dengan pemimpin demokratis dalam tulisan ini adalah pemimpin yang tidak otoriter dan partisipatif sebagai salah satu diantara sikap pemimpin yang baik secara teori. Sedangkan yang dimaksud dengan cara demokratis dalam konteks tulisan ini adalah cara memilih pemimpin dengan pemilihan langsung seperti yang dilakukan di Indonesia.
Apakah negara kita sedang mengalami krisis kepemimpinan atau semakin langka tersedianya kandidat pemimpin yang baik dan kuat? Apakah benar, dua orang calon presiden yang boleh kita pilih kemarin merupakan kandidat terbaik diantara lebih dari 200 juta penduduk yang ada?
Reformasi di tahun 1998 telah melahirkan komitmen untuk memilih pemimpin dengan cara langsung mulai dari Presiden, Gubernur, serta Bupati atau Walikota; melengkapi pemilihan lansung lurah di tingkat desa yang telah berlangsung selama ini. Seolah tak mau kalah, kecenderungan ini juga telah menular ke jenjang karir birokrasi seperti maraknya praktek lelang jabatan dalam memilih jabatan karir seperti direktorat jendral di beberapa departemen dan camat di beberapa daerah. …..Sempat juga terlintas dalam pikiran saya, apakah direktur utama suatu BUMN seperti PLN dan Pertamina juga tidak sebaiknya dipilih langsung oleh para pegawainya?
Tetapi fenomena pemilihan dengan cara “demokratis” yang relatif mahal ini bukan tanpa masalah; walaupun belum dibuktikan dengan riset, tetapi kaidah neraca akuntansi mengatakan bahwa liabilities = assets, sehingga sulit dibantah kalau tertangkapnya ratusan bupati, gubernur, bahkan sampai menteri, ada korelasinya dengan besarnya liabilities atau kewajiban yang perlu mereka kumpulkan untuk membayar ongkos pemenangan mereka baik berupa uang maupun hutang budi. Bila ditinjau berdaraskan teori kepemimpinan, terjadinya berbagai deviasi antara perilaku yang diharapkan dengan apa yang mereka praktekkan tersebut disebabkan karena kualitas dan kadar si pemimpin yang kurang sesuai dengan kriteria pemimpin yang baik. Misalnya teori situational leadership dari Hershey-Blanchard menekankan kemampuan pemimpin untuk bersikap partisipatif atau demokratis setelah dia berhasil meningkatkan kematangan para pengikutnya. Teori lain yang dikembangkan oleh Robert K. Greenleaf memberikan tekanan pelayanan kepada konsep kepemimpinan transformasional ini dan menyebutnya “servant leadership.”
Masalahnya, bisakah kita memilih seorang pemimpin yang demokratis dan melayani tersebut dengan cara “demokratis” ala Indonesia, yaitu dengan pemilihan langsung? “Kebetulan” muncul tokoh-tokoh primadona seperti Jokowi, Ahok, Risma, Ridwan Kamil, dan beberapa bupati dan gubernur yang baik lainnya sebagai produk reformasi. Mereka telah membawa angin segar yang bagi kalangan proponen terhadap pemilihan langsung menganggap bahwa tanpa cara pemilihan yang “demokratis” seperti ini sulit diharapkan muncul tokoh hebat dari luar kotak. Tetapi saya memberi tanda kutip pada kata kebetulan karena cara voting ini juga melahirkan lebih banyak lagi pemimpin yang “tidak kebetulan” bukan saja kinerjanya pas-pasan tetapi banyak juga yang harus berurusan dengan KPK atau kompetitor penegak hukum lainnya. Kondisi inilah yang menjadi keprihatinan bagi para oponen pemilihan langsung yang menyayangkan bahwa sistim ini telah membatasi munculnya calon pemimpin yang baik. Memang selama “ilmu padi” masih berlaku, semakin berisi seseorang justru dia semakin merunduk dan dia malu untuk unjuk diri karena malu bila dianggap menjadi “tong kosong yang nyaring bunyinya.” Padahal popularitas yang ditunjang dengan kemampuan untuk “menjual” kehebatan dirinya justru merupakan kunci sukses untuk bisa terpilihnya seorang pemimin dengan cara demokratis seperti di Indonesia ini.
Untuk menganalisis paradoks kepemimpinan ini , saya mencoba mengambil analogi dari teori situational leadershipnya Hershey-Blanchard yang mengatakan bahwa seorang pemimpin harus bisa memainkan peranan dan gaya kepemimpinan sesuai dengan situasinya. Dalam kondisi pengikut masih belum matang terapkan gaya “telling” atau perintah dan apabila pengikut kita mulai meningkat kematangannya kita bisa menggunakan gaya “selling” atau mulai menjual gagasan kita walaupun keputusan masih tetap di tangan sang pemimpin. Baru setelah masyarakat semakin matang, seorang pemimpin bisa menerapkan gaya demokratis dan mengajak pengikutnya untuk ikut berpartisipasi dalam mengambil keputusan dan mana kala mereka sudah benar-benar matang si pemimpin bisa mendelegasikan (delegating)keputusan kepada bawahannya. Kita terlanjur menerapkan cara partisipatif bahkan delegating berupa otonomi daerah pada saat kematangan masyarakat masih rendah baik dari tingkat pendidikan maupun dilihat dari tingkat kemampuan ekonomi masyarakat. Namun sangat sulit rasanya untuk merubah sistim pemilihan kembali ke UUD 45 berupa musyawarah karena dianggap mundur kebelakang dan menodai kesepakatan reformasi. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang bisa kita tempuh adalah mempercepat kematangan masyarakat dengan bersama-sama meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan serta kemampuan ekonomi masyarakat.
Bekasi Barat, akhir Mei 2015
Yadi Supriadi Legino/ YSL
Ketua Sekolah Tinggi Teknik STT PLN Jakarta