Sebuah koran nasional memutuskan tidak lagi dicetak. Tapi pakai digital saja. Apa alasannya? Pembaca koran nasional itu sudah banyak beralih ke digital.
Data ini kemungkinan besar diambil dari data penelitian perusahaan tersebut. Termasuk dari survey yang dilakukan. Saya sendiri mengisi survey tersebut.Â
Selain itu, alasan terbesar tentu biaya cetak yang jauh lebih besar daripada biaya dalam digital. Daya baca masyarakat pun mempengaruhi.
Daya baca yang menurun menjadi penyebab minimnya penjualan koran cetak. Pemasukan dari penjualan tidak sebanding dengan biaya cetak dan operasional.Â
Tren pembaca pun semakin beralih ke bentuk digital. Kemajuan internet mendukung. Koneksi yang cepat, harga murah kuota, dan murahnya smartphone membuat orang semakin beralih ke dunia digital.
Pagi ini saya ikut ke acara lomba baca kita kuning yang diadakan oleh sebuah lembaga. Hadiah besar lho. Juara 1 Rp. 1000.000, juara 2 Rp. 750.000, dan juara 3 Rp 750.000. ketiganya pun dapat piala.Â
Lalu ada juara harapan 1-3. Tahu berapa pesertanya? Ada enam orang. Jadi semuanya jadi juara. Tinggal siapa yang jadi terbaik saja.Â
Kalau tahu jumlah pesertanya, semua peserta pasti agak santai. Sebab pasti akan jadi juara.Â
Kitab kuning ini selain memang berwarna kuning, huruf arabnya ditulis tanpa tanda baca alias Arab gundul.Â
Makanya ada kesulitannya. Sebab pembaca harus mengira-ngira kata apa yang dibentuk oleh huruf.Â
Untuk dapat membacanya perlu ilmunya. Ilmu ini didapat dengan mondok. Ya. Pondok pesantren memang identik dengan kitab kuning. Bahkan kadang ada anggapan bukan dikatakan pondok pesantren kalau tidak belajar kitab kuning.Â