Mohon tunggu...
Supadilah
Supadilah Mohon Tunggu... Guru - Guru di Indonesia

Seorang guru yang menyukai literasi. Suka membaca buku genre apapun. Menyukai dunia anak dan remaja. Penulis juga aktif menulis di blog pribadi www.supadilah.com dan www.aromabuku.com serta www.gurupembelajar.my.id Penulis dapat dihubungi di 081993963568 (nomor Gopay juga)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nasib Kitab Kuning di Era Digital

7 Desember 2020   04:25 Diperbarui: 7 Desember 2020   06:25 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebuah koran nasional memutuskan tidak lagi dicetak. Tapi pakai digital saja. Apa alasannya? Pembaca koran nasional itu sudah banyak beralih ke digital.

Data ini kemungkinan besar diambil dari data penelitian perusahaan tersebut. Termasuk dari survey yang dilakukan. Saya sendiri mengisi survey tersebut. 

Selain itu, alasan terbesar tentu biaya cetak yang jauh lebih besar daripada biaya dalam digital. Daya baca masyarakat pun mempengaruhi.

Daya baca yang menurun menjadi penyebab minimnya penjualan koran cetak. Pemasukan dari penjualan tidak sebanding dengan biaya cetak dan operasional. 

Tren pembaca pun semakin beralih ke bentuk digital. Kemajuan internet mendukung. Koneksi yang cepat, harga murah kuota, dan murahnya smartphone membuat orang semakin beralih ke dunia digital.

Pagi ini saya ikut ke acara lomba baca kita kuning yang diadakan oleh sebuah lembaga. Hadiah besar lho. Juara 1 Rp. 1000.000, juara 2 Rp. 750.000, dan juara 3 Rp 750.000. ketiganya pun dapat piala. 

Lalu ada juara harapan 1-3. Tahu berapa pesertanya? Ada enam orang. Jadi semuanya jadi juara. Tinggal siapa yang jadi terbaik saja. 

Kalau tahu jumlah pesertanya, semua peserta pasti agak santai. Sebab pasti akan jadi juara. 

Kitab kuning ini selain memang berwarna kuning, huruf arabnya ditulis tanpa tanda baca alias Arab gundul. 

Makanya ada kesulitannya. Sebab pembaca harus mengira-ngira kata apa yang dibentuk oleh huruf. 

Untuk dapat membacanya perlu ilmunya. Ilmu ini didapat dengan mondok. Ya. Pondok pesantren memang identik dengan kitab kuning. Bahkan kadang ada anggapan bukan dikatakan pondok pesantren kalau tidak belajar kitab kuning. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun