Mohon tunggu...
Sungging Murbengkoro
Sungging Murbengkoro Mohon Tunggu... -

Lebih baik mati bergerak daripada mari dalam keadaan diam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jika Dolly Ditutup...

19 Juni 2014   02:08 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:12 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Detik-detik menjelang Gang Dolly ditutup, masyarakat Kota Surabaya khususnya, terbelah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang mendukung kebijakan Tri Rismaharini selaku Walikota untuk menutup lokalisasi legendaris tersebut. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang menentang penutupan Dolly dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi sikap mereka.
Keberadaan Gang Dolly yang terletak di kawasan Kota Pahlawan ini memang menjadi dilema bagi pemimpin kota ini. Di satu sisi, Dolly dianggap sebagai ‘sumber penyakit’, namun di sisi lain Dolly dianggap sebagai ‘sumber kehidupan’. Betapa tidak, ada ribuan wanita yang menggantungkan nasibnya dari ‘hasil keringat’ mereka di tempat ini. Belum lagi para mucikari dan juga gigolo yang juga mengais rejeki dari ‘barang dagangan’ yang mereka tawarkan ke para pelanggan. Belum lagi dengan masyarakat sekitar lokalisasi yang juga mendapat rejeki dari sewa parkir, jual kopi, rokok, dan sebagainya.
Selain faktor ekonomi, Dolly juga mempunyai faktor historis dan telah menjadi salah satu ikon Kota Surabaya. Diprakarsai oleh seorang perempuan bule, Dolly telah berdiri sejak masa penjajahan Belanda. Bahkan kabarnya lokalisasi Dolly adalah lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Tentu ada ikatan emosional antara warga Kota Surabaya yang ‘abangan’ dengan keberadaan Dolly. Dolly dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan ibu kota Provinsi Jawa Timur tersebut.
Namun di sisi lain, keberadaan Dolly juga mengancam kualitas kehidupan masyarakat. Yang paling nyata adalah kehidupan para istri yang dianggap kalah menarik dibanding wanita-wanita Dolly. Dengan tarif per malam yang tidak murah, tentu jatah untuk kebutuhan sehari-hari keluarga akan berkurang, selain jatah kebutuhan batin tentunya. Selain itu adanya lokalisasi Dolly juga dianggap sebagai pemicu maraknya praktik Human Traficcing serta penyebaran virus HIV/AIDS.
Sebagai salah satu warga Kota Surabaya saya berada di pihak yang mendukung penutupan lokalisasi Dolly. Alasannya adalah agar isu penutupan ini tak selalu muncul di setiap menjelang bulan Ramadhan tiba. Isu penutupan Dolly selalu menjadi komoditas politik yang seksi untuk diperdebatkan. Jika Dolly resmi ditutup, maka tak ada lagi perdebatan yang melelahkan lagi. Dan nantinya, semoga tak ada pihak yang mengklaim penutupan Dolly adalah sebuah prestasi yang telah mereka torehkan. Karena sudah selayaknya kebijakan ini didasari oleh niat yang tulus untuk kehidupan masyarakat, bukan sekedar upaya untuk mendongkrak elektabilitas melalui pencitraan.
Memang perlu keberanian dan kehati-hatian bagi pemangku kebijakan, dalam hal ini Bu Risma selaku Walikota dalam mangambil kebijakan. Namun setiap kebijakan perubahan memang selalu mempunyai risiko karena ada pihak yang merasa dirugikan. Inilah yang menjadi tantangan. Namun sepertinya Bu Risma sudah berhitung mengenai hal ini. Bahkan dengan heroiknya beliau berujar siap mati atas sikap yang diambilnya ini.
Meskipun demikian, penutupan Dolly bukanlah akhir cerita. Ada banyak hal yang masih harus diupayakan, utamanya mengenai bagaimana nasib orang yang merasa dirugikan atas penutupan Dolly ini. Dalam hal ini, Bu Risma sudah mengantisipasi dengan pemberian modal dan pelatihan wirausaha bagi para wanita-wanita penghuni Dolly dan juga mucikari agar selepas Dolly ditutup mereka tak sekedar ‘pindah lapak’ saja. Selain itu, kawasan Dolly juga akan dijadikan sentra ekonomi yang diharapkan mampu memacu produtifitas warga sekitar Dolly.
Namun yang tak kalah pentingnya adalah perlu adanya kejian mendalam mengenai Human Traficcing dan HIV/AIDS. Apakah setelah Dolly ditutup terdapat pengaruh signifikan terhadap dua kasus ini atau tetap saja meresahkan masyarakat. Jika angka Human Traficcing dan HIV/AIDS tetap tinggi, maka pemerintah harus terus bekerja keras untuk menelusuri akar dari dua masalah tersebut. Jika tidak demikian, penutupan Dolly memang sarat unsur politik. Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun