Sebagian besar semua orang sudah tahu, sistem asuransi kesehatan di Jepang termasuk yang terbaik di dunia. Â Tenaga kesehatan dan peralatan medis di Jepang juga luar biasa canggih. Para dokter Jepang hampir semua adalah lulusan universitas terbaik di Jepang, karena tidak semua universitas memiliki fakultas kedokteran. Selain itu, proses masuk dan biaya untuk menjadi dokter juga sangat tinggi. Tak bisa hanya modal kaya atau pintar saja untuk bisa menjadi dokter. Tes masuk universitas Jepang untuk orang Jepang relatif lebih rumit, ada beberapa tahapan yang cukup yang harus dilewati untuk bisa melanjutkan kuliah di universitas terbaik dan jurusan bergengsi, termasuk kedokteran. Mulai dari tes awal yang akan menghasilkan nilai untuk memperoleh hak memilih universitas tertentu di Jepang, kemudian tes lanjutan untuk memperoleh hak memilih jurusan yang diinginkan.
Setelah jadi dokter tuntutannya dan aturannya juga berat. Tak bisa sembarangan berpraktek. Apalagi sistem asuransi yang ada seolah tidak member celah kepada dokter untuk berbisnis obat dan alat kesehatan lain sebagainya. Â Obat generik dalam dosis yang sangat rendah telah menjadi andalan untuk mengobati berbagai penyakit di Jepang, dan hasilnya ternyata orang Jepang termasuk jarang sakit dan panjang umur. Mereka tak berani memberikan pasien obat dosis tinggi dan mahal, tanpa persetujuan. Bahkan beberapa waktu yang lalu ketika anak kami sakit, ketika ada obat yang tidak ditanggung oleh asuransi, dokternya terlebih dulu member tahu bahwa nanti aka nada obat yang harus membayar sendiri. Saat mengambil obat ternyata harganya cuma 49 yen, lebih murah dari mainan di vending machine yang rata-rata seharga 200 yen. Orang sakit tidak akan takut pergi ke dokter karena biaya. Beberapa minggu yang lalu malah sempat melihat anak kecil yang telah rawat inap di sebuah rumah sakit besar di Utsunomiya dalam waktu yang sangat lama. Dari tulisan yang ada di tempat tidurnya anak tersebut telah opname selama lebih dari 4 bulan untuk menjalani terapi khusus. Â Kasus seperti itu menjadi wajar di Jepang, karena asuransi kesehatan akan menanggung 100% biaya pengobatan anak-anak.
Menjadi dokter spesialis juga bukan termasuk hal yang menarik bagi dokter Jepang, apalagi spesialis rawat darurat atau kandungan. Kata Bos saya di lab, resiko dikomplain pasien lebih tinggi jika terjadi masalah misalnya pasien tidak terselamatkan. Banyak yang lebih senang menjadi dokter umum yang hanya menangani penyakit-penyakit ringan seperti masuk angin (kaze) atau influenza, lebih aman katanya. Dokter spesialis yang paling diminati sepertinya adalah dokter gigi, selain aman juga kebanyakan bisa mendirikan klinik perawatan gigi sendiri. Apalagi orang Jepang memang peduli sekali dengan gigi mereka.
Melihat rumah sakit Jepang juga terkesan sangat berbeda. Hampir tak ada bau obat yang menyengat. Kesan menjadi TEMPAT LAYANAN SOSIAL sangat terasa, bahkan mulai dari tarif parkir yang sangat murah dibanding tempat parkir biasa. Mungkin karena kebanyakan yang datang adalah orang yang sedang dalam kesusahan sehingga sistem tidak tega untuk memanfaatkan peluang mencari uang dengan memanfaatkan keadaan. Kalau biasanya tarif parkir mobil adalah 100 yen/20 menit, di rumah sakit tersebut hanya 200 yen/8 jam. Lalu bagaimana agar rumah sakit tidak bangkrut? Secara detail saya juga tidak tahu, yang jelas mereka tidak jualan obat dan atau layanan kesehatan, meskipun tetap ada pengkelasan kamar rawat inap dengan harga yang berbeda.
Tetapi memang sebenarnya ada bisnis sampingan di rumah sakit Jepang. Namun sifatnya bukan dengan cara mencekik pasien karena jualan mereka adalah barang-barang pelengkap dan pilihan yang tidak wajib. Artinya boleh beli boleh tidak, karena tidak berkaitan dengan kesehatan pasien. Di rumah sakit tersebut banyak sekali kombini/minimarket, yang terutama dikhususkan untuk keluarga pasien dan atau tenaga medis di sana. Tiap siang tersedia menu obento yang dijual dengan harga biasa, tak lebih mahal dari tempat lain. Bisnis lain yang paling laku bagi pasien rawat inap mungkin adalah kartu langganan televisi. Hampir setiap pasien rumah sakit diberikan televisi untuk hiburan mereka, namun jika ingin menonton tidak gratis. Kita harus membeli sebuah kartu khusus untuk dapat menonton televisi. Tapi sifatnya tidak wajib, tergantung kemampuan dan kemauan pasien.
Hal yang menarik di bisnis rumah sakit di Jepang adalah tersedianya puluhan vending machine minuman dan juga café. Bahkan di salah satu rumah sakit pendidikan di Dokkyo Medical University Hospital tersedia café terkenal  bernama Starbucks coffee. Café yang termasuk paling rame untuk tempat santai pasien dan keluarganya ketika menunggu. Mungkin karena paling terkenal sedunia serta tambahan fasilitas internet gratis bagi pembeli atau bisa juga karena harga kopi di sana tak jauh berbeda dengan di tempat lainnya. Starbucks coffee memang juga terkenal di Jepang, tetapi bukan tempat ngopi yang mahal untuk ukuran Jepang. Harga rata-rata hampir sama dengan harga kopi di konbini atau warung kopi lainnya. Mungkin itulah bisnis sampingan rumah sakit di Jepang, bukan jualan obat dan juga layanan yang berbeda.
Salam dari Utsunomiya
Ket: Gambar penampakan starbucks di Dokkyo Medical University Hospital, Utsunomiya
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI