Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Keberadaban Pajak Digital Kunci Masa Depan Penerimaan Negara Indonesia

30 Agustus 2025   16:15 Diperbarui: 30 Agustus 2025   16:15 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Patuh Pajak (Heryunanto/CHY/Kompas.id)

Sejumlah gejolak sosial yang berkembang di masyarakat akhir-akhir ini terindikasi sebagian besarnya berasal dari informasi tentang perpajakan.

Mulai dari kebijakan terkait pungutan pajak, isu pajak, miskinnya sosialisasi pajak dan komunikasi pejabat publik atas informasi pajak yang digemakan ke ruang-ruang digital dengan cara-cara yang cenderung di luar batas etika publik, membuat masyarakat aktif merespons.  

Terbaru, gejolak sosial akibat pajak yang terjadi di Pati, Jawa Tengah, dan Bone, Sulawesi Selatan adalah karena kebijakan menaikan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) 250% dan 300%. Termasuk dugaan kenaikan PBB hingga mencapai 1000% di Cirebon dan dugaan kenaikan PBB di daerah lainnya.

Selain kebijakan akan kenaikan nilai pajak yang dianggap tidak logis, isu penarikan pajak yang datangnya dari arogansi dan anomali dalam ketidakberadaban komunikasi penyampaian publik oleh para pejabat  tentang pungutan pajak, maupun miskinnya sosialisasi mengenai pemberlakuan peraturan pajak, justru cenderung turut meningkatkan gejolak sosial di masyarakat.

Isu amplop kondangan yang akan dikenakan pajak, kenaikan pajak hiburan 40-75%, PBB hingga 1000%, berita pedagang kaki lima (pecel lele misalnya) akan kena pajak 10%, dan penerapan pajak media sosial yang akan dimulai tahun 2026 adalah sebagian informasi dari kebijakan, isu dan komunikasi pajak yang cenderung disampaikan di luar keberadaban sekaligus jadi bukti minimnya sosialisasi, yang mudah memantik gejolak sosial. 

Sehingga alih-alih mendapatkan simpati agar masyarakat menjadi taat pajak dan tidak anti pajak, penyampaian komunikasi pejabat publik atas informasi pajak yang dinilai arogan, minim empati, di luar kelogisan, anomali dan bersifat memaksa--seperti misalnya informasi kebijakan kenaikan pajak yang dikritik masyarakat tetapi malah direspons dengan tantangan, komunikasi bahwa pajak yang dipungut disebut karena ada hak orang lain dan mempunyai manfaat yang sama dengan wakaf dan zakat (sama mulianya), dan informasi terakhir tentang kenaikan tunjangan DPR tanpa beban pajak, yang disambut oleh hampir semua anggota DPR dengan euforia joget bersama--malah membuat masyarakat kecewa, marah, menentang, melawan dan menyerang hingga menimbulkan gelombang narasi boikot pajak atau ajakan untuk berhenti membayar pajak di ranah digital.

Dengan timbulnya gejolak sosial yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia akibat ketidakberadaban dalam menerapkan kebijakan kenaikan dan penarikan pajak, isu dan informasi tentang pajak yang juga dikomunikasikan di luar batas etika publik, sudah seharusnya direspons pemerintah (negara) dengan kesadaran. Bahwa memungut pajak kepada rakyat untuk menaikkan penerimaan negara tidak bisa dilakukan dengan cara tidak beradab. 

Oleh karena itu, keberadaban pajak di era digital adalah kunci untuk masa depan penerimaan negara Indonesia. Maka tidak bisa ditawar-tawar lagi, memungut pajak dengan cara-cara di luar batas etika publik harus segera dihentikan dan digantikan dengan cara yang beradab.

Penerimaan negara pada 2026 ditargetkan sebesar Rp 3.147,7 triliun atau naik 9,8%. Dari total target tersebut, penerimaan dari pajak ditetapkan sebesar Rp 2.357 triliun atau naik 13,5%. Kenaikan target ini tentu bukan perkara sepele. 

Sementara itu, salah seorang Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, menyebut bahwa pemerintah akan mengandalkan implementasi Coretax untuk memperluas basis perpajakan. Artinya, pemerintah memercayakan semua proses penarikan pajak dalam rangka memperoleh penerimaan negara, salah satunya pajak, melalui sistem yang terkoneksi dengan teknologi digital. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun