Mohon tunggu...
Sugiarto Sumas
Sugiarto Sumas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jubah Kebesaran

21 September 2017   21:42 Diperbarui: 21 September 2017   21:46 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jakarta, 21 September 2017. Berbagai jubah kebesaran dipakai oleh utusan 50  keraton di seantero nusantara yang sedang merayakan Festival Keraton Nusantara (FKN) ke XI di Keraton Kesepuhan Kota Cirebon Jawa Barat tanggal 15-19 September 2017.  

Jubah kebesaran sebagai baju, dan keraton sebagai sebuah tempat, tidak dapat terpisahkan dalam menggambarkan lambang dan pusat kekuasaan. Kehilangan jubah kebesaran berarti kehilangan keraton dan kehilangan lambang dan pusat kekuasaan, serta menipisnya penghormatan. Oleh karena itu, demi meraih atau mempertahankan jubah kebesaran sebagai lambang kekuasaan seringkali tidak segan mempertaruhkan harta, benda bahkan kehormatan dan nyawa. Di pihak lain, memang ada pula orang yang legowo melepas jubah kebesaran karena kesadarannya bahwa sudah saatnya tongkat estafet diserahkan kepada generasi penerus.

Alkisah, seorang Kyai / Anjengan / Tuan Guru memberikan hadiah yang luar biasa kepada santrinya yang setia mengabdi di pesantrennya. Jika umumnya santri hanya mengabdi selama  2 tahun setelah dinyatakan selesai belajar di pondok, tetapi santri yang satu ini sudah puluhan tahun mengabdikan diri di pondok. Selidik punya selidik, ternyata santri ini patah hati karena pacarnya  ketika sama sama mondok puluhan tahun lalu dipersunting oleh Sang Kyai. Tentu Sang Kyai kaget dan merasa bersalah mengetahui berita itu. Singkat kata, untuk menebus rasa bersalahnya Sang Kyai mencerai istrinya dan kemudian setelah masa idahnya selesai mantan istri Sang Kyai dinikahkan kepada Santri senior tadi. Tidak hanya itu, diserahkan pula pesantrennya, harta kekayaannya, status imam sholat, hingga jubah  kebesarannya.

Sehabis melepas jubah kebesarannya, Sang Kyai kemudian meninggalkan pondok pesantrennya, dengan hanya memakai kaos oblong dan celana pendek. Perubahan terjadi dari biasanya, yakni perubahan sikap khalayak ramai ketika bertemu Sang Kyai. Jika sebelumnya mereka sangat hormat kepada Sang Kyai bahkan hingga mencium tangan, tetapi kini mereka bersikap biasa-biasa saja dan tidak ada bedanya dengan ketika mereka bertemu dengan masyarakat umum. Kini Sang Kyai sudah kehilangan penghormatan dari umat yang ditemuinya bersamaan dengan dilepasnya jubah kebesaran Sang Kyai.

Jubah kebesaran dalam dunia birokrasi tentu saja tidak berwujud jubah secara harfiah, tetapi berwujud pangkat dan jabatan, yang tertuang dalam Surat Keputusan.  Singkatnya, dengan memiliki Surat Keputusan maka didapatlah kekuasaan untuk menjalankan tugas dan memperoleh pengakuan dari bawahan dan legitimasi dari para pemangku kepentingan. Sebaliknya, ketika Surat Keputusan dicabut, maka bersamaan dengan itu hilang pula kekuasaan, dan menipislah penghormatan dari bawahan serta para pemangku kepentingan. Itulah fakta kehidupan yang harus dialami setiap birokrat  tanpa kecuali. (sugiartosumas@naker.go.id / sugiartosumas58@gmail.com / NEWSLEDGE).j

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun