Mohon tunggu...
Sumarno
Sumarno Mohon Tunggu... -

Mencari dan mencari terus.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Si Kecil yang Berjasa

22 Desember 2015   11:55 Diperbarui: 22 Desember 2015   17:43 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Saya ikut prihatin kalau mendengar kemacetan di Jakarta, apalagi kalau ada kabar kendaraan kecil, roda tiga, berwarna oranye yang khas itu, bernama bajaj akan dibersihkan dari Jakarta. Lalu nasibnya sama dengan becak. Saya selalu ingat Muhaimin si tukang bajaj.

Syukur, sampai sekarang bajaj masih tetap eksis diantara ribuan kendaraan di jalanan Jakarta. Berebut, berhimpit menembus kemacetan diantara motor yang kian membludak, kendaraan mewah yang terus bertambah, bus kota yang reot dan bus Trans Jakarta yang diistimewakan itu.

Namun, saya masih bertanya-tanya apakah Muhaimin masih narik bajaj? Muhaimin bagi saya lucu, menarik dan sangat berarti. Lucu karena sikap dan perkataannya selalu membikin orang tertawa. Keluhan, tetapi diungkapkan tidak dengan ratapan dan memelas. Hidup di Jakarta sebagai tukang bajaj tidak seperti sopir taksi yang setingkat lebih bergengsi. Tetapi masih ada kesamaannya, yaitu soal makan dan tidur.

Dia menggambarkan tukang bajaj maupun sopir taksi, “Makan seperti raja, tapi tidur seperti ayam ." Artinya, tidak seperti di kampung makan seadanya. Makan di warung tinggal pesan sesuai selera dan dilayani. Tetapi kalau tidur kadang di bajaj. Kalaupun di rumah kontrakan satu kamar dihuni beberapa orang. Boro-boro bisa tidur nyenyak.

Karena tidur yang kurang, maka ketika siang terik sambil istirahat di emperan rumah elite di Menteng yang bersih dan sejuk kadang tertidur. Muhaimin pernah bercerita bangga, mengaku sering istirahat sampai ketiduran di teras rumah Tomy Soeharto atau rumah tokoh-tokoh nasional lainnya di kawasan Menteng. Ungkapan kebanggaan seorang rakyat kecil yang bisa menginjakkan kaki di emperan rumah orang-orang terkenal, walaupun tak jarang diusir oleh petugas keamanan. Ketika diusir itulah diibaratkan seperti anjing.

 

Muhaimin teman saya sekampung. Dia adik kelas waktu di sekolah dasar (SD) inpres yang dibangun di sawah,. Terhambat biaya dia tak bisa meneruskan sekolah dan ikut seorang saudaranya merantau ke Jakarta. Awalnya, dia menjadi pembantu di warung tegal (warteg). Kemudian menjadi pedagang asongan di lampu merah. Setelah cukup umur dia mulai belajar narik bajaj, profesi itulah yang akhirnya ditekuninya.

Sedangkan saya melanjutkan sekolah sampai SMA. Selepas SMA saya ke Jakarta, bermaksud melanjutkan kuliah walaupun di perguruan tinggi swasta. Karena saya tidak punya saudara di Jakara, hanya bermodalkan tekad dengan mengantongi sejumlah alamat teman serta sedikit uang dari orang tua, saya pergi ke Jakarta. Sedangkan saya belum tahu sama sekali Jakarta seperti apa. Cuma bayangan dari cerita teman dekat yang sudah sering ke Jakarta.

Yang membuat Muhaimin sangat berarti bagi saya dan tak akan pernah terlupakan, karena saya pernah ditolong olehnya. Setelah menempuh perjalanan dari kampung sampai terminal Pulau Gadung dan diteruskan naik bus kota ke arah Senen. Jam empat sore saya turun dari bus kota di jalan Suprapto, depan gedung bioskop pasar Cempaka Putih.

Teman saya berpesan dari depan gedung bioskop menyeberang jalan, masuk gang kecil, lalu tanya rumah ibu Salamah, tempat teman saya kost. Begitu masuk gang yang ada, ternyata buntu, di ujung gang hanya ada mushola, tidak ada rumah lagi.

Saya mulai berfikir, jika sampai malam belum ketemu berencana tidur di mushola. Tetapi mushola di kota tidak seperti di kampung, sebab kalau malam dikonci. Saya berdiri di depan mulut gang kecil, otak terus berfikir sambil mengingat teman-teman sekampung yang jadi tukang bajaj. Mata terus melotot siapa tahu ada teman lewat. Waktu itu belum ada telepon genggam.

Begitu ada bajaj lewat saya yakin teman sekampung, bajaj tertutup oleh metro mini yang menyerobot. Saya makin gelisah, menyeberang lagi ke depan bioskop, lama berdiri dengan tas bertenger di punggung. Fikiran terus berputar, kemana lagi dan terus pasang mata, siapa tahu bajaj atau taksi yang lewat teman sekampung. Di samping saya berdiri sepasang suami istri setengah baya. Begitu ada bajaj melintas sepasang suami istri itu menyetopnya. Saya pun melototi tukang bajaj.

Mungkin keheranan saya memandanginya tajam, si tukang bajaj berseru memanggil nama saya. Apa yang saya harapkan terpenuhi. Ternyata Muhaimin. “Lagi apa? Sama siapa? Mau kemana?” dia memberondong dengan pertanyaan.

Saya merasa sangat lega, ketemu orang yang saya kenal di tengah kebingungan di belantara Jakarta yang belum pernah saya rambah. “Sudah, itu penumpang bawa dulu, nanti ke sisni lagi saya tunggu.” pinta saya.

“Nggak, nggak, ayo mau kemana atau ke tempat saya saja dulu.” sahut Muhaimin sambil minta maaf kepada calon penupang bahwa dia tidak bersedia membawanya. Lalu saya pun menumpang bajaj-nya sambil saya bercerita maksud dan tujuan saya ke Jakarta. Saya diantar ke tempat kost teman saya dan ketemu.

Itulah, Muhaimin, pemuda si tukang bajaj, orang pertama yang menyambut kedatangan saya di Jakarta sekitar sembilan belas tahun silam. Muhaimin teman saya, dan masih banyak lagi Muhaimin-muhaimin yang lain si tukang bajaj bagi saya sangat berjasa.

Walaupun sekarang saya tinggal di pinggiran Jakarta, yang biasa disebut kota penyangga dan memang tidak ada bajaj, maka setiap ke Jakarta saya selalu sempatkan naik bajaj, walaupun hanya sekadar berputar-putar. Yang jelas tukang bajaj sangat berjasa, moda angkutan kecil yang murah, bisa masuk gang-gang sempit, dan pengantar ke tempat tujuan yang efektif.

Kalau pada masa Bung Karno ada Pak Marhain, di Bandung, pada masa presiden SBY ada Pak Mayar di Cikeas Udik, di Menteng ada Mas Muhaimin-Mas Muhaimin yang hingga sekarang masih ada. Bukan hanya bajaj sebagai moda angkutan kecil karena rupanya, tetapi potret kehidupan masyakarat kecil yang berjasa. Di tengah isu kemacetan di Jakarta, apakah bajaj terancam digusur? Kalau ya, lalu Muhaimin-Muhimin itu mau kerja apa? Semoga tidak terjadi.[*]

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun