PERJUANGAN TMII dalam upaya merekat budaya di Indonesia tidak perlu kita ragukan lagi. Sejak berdiri pada 20 April 1975, para pengelola TMII telah bekerja keras untuk menghidupkan ‘monumen’ Bhinneka Tunggal Ika ini. Taman Mini Indonesia Indah (TMII) telah menjadi ‘rumah budaya’ bagi ratusan suku-bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[caption id="attachment_376033" align="aligncenter" width="378" caption="Danau yang menggambarkan kepulauan Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah (Foto dari http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Mini_Indonesia_Indah)."][/caption]
Di TMII terdapat sinergi budaya warisan leluhur dan budaya modern. Kita dapat menyaksikan: miniatur pulau-pulau Indonesia, replika rumah adat, koleksi-koleksi etnografi, museum dengan arsitektur modern, kereta gantung, Teater IMAX Keong Mas, taman-taman flora dan fauna khas negeri tropis, dan Teater Tanah Airku. TMII merefleksikan konsep diri (self-concept) kolektif masyarakat Indonesia dalam tatanan Bhinneka Tunggal Ika. Di mana, seluruh suku-bangsa Indonesia berjuang untuk hidup harmoni dalam perbedaan. Mencermati kekekayaan budaya dan pesan-pesan toleransi (persaudaraan) yang diabadikan TMII; terlihat jelas bahwa TMII bukan sekadar wisata budaya terlengkap di Indonesia, melainkan memiliki potensi besar menjadi inspirasi dunia untuk mewujudkan perdamaian. Karena itu, TMII sangat layak menjadi salah satu Pusaka Dunia (World Heritage) yang diresmikan UNESCO.
Sayangnya, rentetan konflik internal terus menjamur di Indonesia. Bahkan, Jakarta yang menjadi kawasan tempat berdirinya TMII, merupakan wilayah Indonesia yang paling rentan terjadi konflik SARA (sosial-politik) dan bencana alam. Selain mengakibatkan terdapat naik-turun minat kunjungan ke TMII, hal ini mengindikasikan semangat ‘persatuan dan kesatuan’ dari TMII belum menyatu secara kukuh sebagai jati diri bangsa.
Oleh sebab itu, di usia 40 tahun, TMII masih perlu berinovasi. Agar pesan-pesan persaudaraan dan perdamaian tidak hanya muncul di ‘ruang’ TMII, melainkan menjelma dalam kehidupan nyata rakyat Indonesia dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Sehingga, TMII akan menjadi kebanggaan Indonesia dan menginspirasi masyarakat dunia dalam mewujudkan perdamaian. Implikasinya, peluang TMII menjadi Pusaka Dunia (World Heritage) akan terbuka lebar dan menjadi tujuan wisata unggulan Internasional. Beberapa langkah inovasi yang dapat diselenggarakan TMII antara lain:
Komunikasi Peduli Budaya di TMII
Dalam merekat budaya bangsa, aspek komunikasi merupakan langkah penting yang masih perlu dikembangkan TMII. Agar pengaruh TMII tidak hanya mengakar di Jakarta yang menjadi wilayah tempat berdirinya TMII, melainkan menyebar ke seluruh pelosok Indonesia dan dunia.
Salah satu proses komunikasi yang perlu dikembangkan TMII adalah komunikasi massa. Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukaan oleh Bittner (Rakhmat, 2003: 188), yakni komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Media yang digunakan dalam komunikasi massa lazim disebut ‘media massa’ yang terdiri dari: surat kabar, radio, dan televisi. Seiring dengan pertumbuhan teknologi informasi, internet (media virtual) pun telah bertransformasi menjadi bagian dari komunikasi massa yang populer di kalangan masyarakat urban.
Melihat porsi TMII yang masih minim di ranah media massa, tampaknya inovasi TMII masih perlu dibenahi. Bisa kita lihat sehari-hari, frekuensi milik publik pada ranah media massa, dipenuhi dengan materi yang kontraproduktif dan tidak progresif. Berita kriminal mendominasi materi yang disebarkan. Berita budaya mendapatkan porsi yang sangat minim. Bahkan, keberadaan TMII terbilang langka dalam persebaran informasi. Hal ini berbanding terbalik dengan kegiatan budaya di TMII yang mencapai 500 setiap tahun. Dengan kata lain, kegiatan budaya di TMII melebihi ‘jumlah hari’ dalam setahun, tapi hanya segelintir tersebar melalui media massa.
Kegiatan-kegiatan budaya di TMII yang berpotensi merekat budaya Nusantara dan menjalin Bhinneka Tunggal Ika, tidak diekspos oleh media massa secara utuh dan ‘kalah bersaing’ materi yang berpotensi menstimulasi keretakan-keretakan budaya. Dapat kita saksikan setiap hari, data visual tindakan kriminal dan diskriminasi, disebarkan secara massal dan didramatisir. Radio, televisi, majalah, dan surat kabar; cenderung menjadikan berita kriminal sebagai fokus utama. Bahkan, sebagian besar berita itu mengalami pengualangan berkali-kali. Sebuah stasiun televisi bisa menampilkan sebuah berita kriminal lebih dari lima kali dalam sehari dengan alibi ‘perkembangan informasi’. Sungguh sangat ironis, media massa memilih perkembangan materi berita yang menampilkan ‘runtuhnya moral manusia’ daripada menebarkan informasi kegiatan budaya yang menjalin ‘persatuan dan kesatuan’ di tubuh NKRI. Hal ini mengindikasikan kemunduran bangsa di Indonesia.
Kenyataan tersebut tentu sangat menyedihkan. Minimnya informasi TMII yang menyebar melalui media massa, mengindikasikan bahwa TMII belum menyatu dalam opini publik dan konsep diri (self-concept) kolektif masyarakat.