Hilirisasi Riset: Kampus Mau Dibawa ke Mana?
Dalam beberapa tahun terakhir, kampus di Indonesia semakin digiring untuk menghasilkan riset yang "bisa dihilirisasi." Artinya, penelitian harus bermuara pada produk komersial, paten, start-up, industri, atau prototipe. Dalam praktik kebijakan, ukuran keberhasilan penelitian mulai digeser dari kualitas ke "nilai jual".
Masalahnya, konsep ini tidak netral bidang ilmu. Hilirisasi hanya realistis untuk rumpun tertentu: teknik, farmasi, teknologi, pertanian, kedokteran, dan rekayasa industri. Di bidang-bidang ini, hasil riset memang bisa diwujudkan menjadi produk fisik atau teknologi aplikatif.
Pertanyaannya: apakah semua ilmu harus menuju hilirisasi?
Bagaimana dengan pendidikan, agama, hukum, sosial, budaya, seni, dan filsafat? Apakah penelitian tentang moral publik, kurikulum, budaya literasi, kearifan lokal, demokrasi, atau keadilan sosial harus menjadi produk industri? Jika tidak, mengapa kebijakannya dipukul rata?
---
Melenceng dari Amanat Konstitusi
Mari mundur sejenak ke landasan hukum tertinggi. Tujuan pendidikan nasional telah disebut secara eksplisit dalam Pembukaan UUD 1945:
"mencerdaskan kehidupan bangsa."
Mandat ini jelas: orientasi utama perguruan tinggi adalah peningkatan kualitas manusia---akal, karakter, budaya, moral, dan kesadaran sosial. Bukan semata menghasilkan barang, lisensi, atau komoditas pasar.
Jika hilirisasi dijadikan ukuran tunggal, maka perguruan tinggi akan tergelincir menjadi kepanjangan tangan industri. Kampus tidak lagi menjadi pusat kritik, pembentukan watak, dan pengembangan peradaban, tetapi berubah fungsi menjadi pabrik inovasi terapan.