Mohon tunggu...
Tun Molucanus
Tun Molucanus Mohon Tunggu... -

Saya penggemar buku dengan huruf latin apa saja kecuali yang bahasanya tidak saya pahami.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bundel Majalah Ini Seratus Tahun Lebih Umurnya

25 Mei 2011   16:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:14 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah berjam-jam membaca dalam rangka melakukan studi pustaka mengenai kehutanan di suatu provinsi untuk pekerjaan kantor,  untuk menurunkan ketegangan mata, saya mendatangi beberapa rak buku di Perpustakaan Pusat Dokumentasi Kehutanan. Perpustakaan berpendingin udara ini begitu sepi, hanya saya seorang diri di ruang seluas ini. Buku atau bahan tercetak mungkin tidak menarik lagi buat sebagian dari kita, atau saya saja yang masih beperilaku kuno, obsolete, dalam mencari informasi.

Seperti yang saya duga, text books kehutanan “kuno” terlihat muram meski tersusun rapih, mungkin sudah bertahun-tahun tidak ada yang menyentuhnya. Setengah berminat saya mengamati judulnya, mulai dari Hand Book of Forestry, Forest Soil, Forest Survey, Forest Engineering dan lainnya; melihat tahun penerbitannya, buku-buku ini semua jauh lebih tua dari saya. Kumpulan laporan kegiatan kehutanan tahun 70an-90an kelihatan kusam, seakan menceritakan kondisi hutan saat ini. Ah perpustakaan ini makin kuno saja, apalagi jika memperhatikan perkembangan teknologi informasi saat ini. Tak salah juga jika perpustakaan ini disatukelolakan dengan Museum Kehutanan Indonesia.

Teringat bahwa lokasi yang sedang saya pelajari telah tersentuh oleh migran China sejak berabad-abad silam dan kemudian secara lebih intensif dieksploatasi pada jaman kolonial Belanda, saya mencoba mencari rak-rak buku yang agak kebelanda-belandaan. Di bagian paling ujung perpustakaan dekat dinding berjendela kaca, saya menemukan deretan bundel majalah kehutanan dan pertanian, terbitan dalam dan luar negeri. Dan  mata saya sempat tertuju kepada bundel “TECTONA”. Teringat sewaktu di kampus dulu, Bapak Dosen sering menyebut “Tectona” baik sebagai nama botani jati maupun sebagai majalah kehutanan yang berwibawa pada masanya, segera saya mendekatinya. 

Tercengang saya menemukan bundel berlabel dengan tulisan tangan yang nyaris pudar “1910”, berarti isinya sudah berumur satu abad lebih. Perlahan-lahan bundel itu saya turunkan dari rak dan membawanya ke meja baca. Halaman pertama saya menjumpai, “ 3e Jaargang 1990” mungkin ini tahun penerbitannya. Bundel ini pasti tidak pernah disentuh dalam beberapa tahun terakhir ini, ngengat mulai memakan sampul dan lembaran isinya meninggalkan lubang-lubang pada setiap halaman yang saya bukai dengan sangat perlahan-lahan karena satu halaman melekat dengan halaman berikutnya. (Dalam “Klapper” terbitan 1953, yang saya temukan kemudian, saya menemukan sedikit penjelasan tentang “Tectona” ini. Antara lain ditulis, Pada 15 hari bulan Maret 1908 di Jogjakarta didirikan perkumpulan ahli2 kehutanan Vereeniging van Ambtenaren bij het Boschwezen in Nederlandsch Oost Indie (Vabinoi), ... kemudianberubah menjadi Vereeniging van Hoogere Ambtenaren bij het Boschwezen in Nederlandsch Oost Indie (Vhabi)...Perhimpunan ini menerbitkan madjalah-bulanan kehutanan "Tectona"....)

Saya hampir tidak mengerti sama sekali isi majalah dalam bundel ini  karena semua naskah, ditulis dalam bahasa Belanda (ada satu artikel berbahasa Inggris, tapi hanya judulnya, isinya bahasa Belanda). Namun demikian, dalam ketidakmengertian saya, saya sangat mengagumi majalah ini.Betapa tidak, majalah ini pasti dicetak dengan mesin hand-press, dengan huruf-huruf dari plat timah yang merupakan gambar terbalik dari huruf sebenarnya (mirror print) yang disusun mengikuti naskah yang ditulis tangan atau diketik. Susunan huruf ini kemudian dirangkai menjadi satu baris, hingga menjadi satu halaman, dinaikkan ke mesin press, dilalui roll yang telah melewati sebuah plat lingkaran yang telah dipolesi tinta, kemudian kertas yang telah dimasukkan plat penekan, oleh kekuatan tuas pencetak dan tenaga manusia akan menekan plat huruf dan mencetakkan tulisan yang bisa dibaca. Proses sederhana, tapi butuh ketekunan dan kekuatan mata dan daya ingat, karena huruf-huruf sangat kecil, serta ditempatkan dalam kotak-kotak kecil yang jumlahnya puluhan.

Kekaguman saya pun kian bertambah ketika mengamati lebih seksama tabel-tabel yang ada di naskah majalah, dari angka-angkanya, sepertinya merupakan nomogram yang masih dipakai oleh kehutanan di Indonesia sampai sekarang. (Ini karena kita tidak mengupdate lewat riset, atau karena Belanda atau rimbawan Belanda memang punya kelebihan. Entahlah).

Sayang saya belum sempat mengambil foto dokumen berharga ini. Kelak saya akan kembali ke Perpustakaan ini untuk memotret lembar demi lembar dan menjadikannya bagian dari koleksi buku-buku saya. Saya berkhayal ada mahasiswa sastra atau jurnalistik yang mau menggeluti pustaka-pustaka tua kehutanan kita dan mengangkatnya dalam skripsi mereka, untuk jadi bahan perenungan, bahwa sejak berabad-abad silam sebenarnya kaum penjajah saja sudah memikirkan masalah pelestarian dan penelitian hutan, tapi mengapa hutan kita kini nyaris habis oleh keserakahan kita, bangsa yang beradab dan merdeka (katanya).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun