Dugderan adalah tradisi dan budaya di Kota Semarang dalam menyambut datangnya bulan Ramadan. Dugderan selama ini menjadi magnet wisata musiman dengan berbagai acara, seperti karnaval seni budaya, promosi produk UKM, pentas seni  dari 16 kecamatan, dan pasar rakyat. Pada acara puncak, masyarakat pun dipastikan akan memadati sepanjang rute yang dilintasi pawai karnaval mulai dari Balai Kota Sematang, Jalan Pemuda, Jalan Imam Bonjol, Masjid Agung Kauman Semarang, hingga Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT).
Namun, Dugderan tahun ini akan terasa berbeda di saat pandemi corona (covid-19) melanda. Pemerintah Kota Semarang memutuskan event tersebut tidak menyertakan gelaran pawai, karnaval, dan kegiatan yang mengundang keramaian. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan potensi penyebaran virus corona karena kegiatan biasanya diikuti ratusan peserta dan disaksikan oleh ribuan masyarakat Kota Semarang dan sekitarnya.
Tradisi Dugderan dan Warag Ngendog
Dugderan adalah tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun untuk mengumumkan dimulainya waktu puasa Ramadan kepada khalayak umum. Tradisi ini pertama kali diadakan pada tahun 1882 saat pemerintahan Bupati R.M. Tumenggung Ario Purbaningrat. Dugderan diambil dari kata "dug" dan "der". Kata "dug" diambil dari suara beduk masjid yang ditabuh berkali-kali sebagai tanda masuknya awal Ramadan. Kata "der" diambil dari suara dentuman meriam yang disulut bersamaan dengan tabuhan beduk. Fungsi meriam saat ini diganti dengan petasan. Â
Ritual inti Dugderan tetap dipertahankan hingga saat ini, seperti pembacaan suhuf hasil halaqah ulama tentang penentuan dimulainya puasa Ramadan. Juga pemukulan beduk oleh Walikota Semarang yang memerankan Bupati R.M. Tumenggung Ario Purbaningrat. Kemeriahan Dugderan dapat disaksikan dalam ragam hiburan rakyat dan pasar rakyat yang menyajikan aneka kebutuhan selama dua pekan sebelum Ramadan.
Suasana Dugderan biasanya dimulai kira-kira dua pekan menjelang bulan Ramadan.
Warga menggelar pasar rakyat di beberapa sudut kota, khususnya sekitar Johar. Para pedagang berasal dari Kota Semarang dan daerah sekitar seperti Demak, Kendal, Jepara, Kudus, Pati, Grobogan, Salatiga, dan Blora. Mereka menjajakan berbagai kebutuhan dari pagi hingga malam hari seperti makanan, pakaian, gerabah, meubel, hingga wahana bermain anak-anak, seperti komidi putar, dan odong-odong.
Puncak acara adalah ketika tiba penghujung bulan Sya'ban.
Saat itu, karnaval dan arak-arakan diadakan yang dimulai dari Balai Kota Semarang dan berakhir di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Masyarakat dipastikan memadati sepanjang rute yang dilintasi pawai karnaval mulai dari Balai Kota Semarang, Jalan Pemuda, Jalan Imam Bonjol, Masjid Agung Kauman Semarang, hingga Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Peserta karnaval umumnya menggunakan tema mobil hias yang sama, yakni Warag Ngendog, hewan imajiner yang menggambarkan perpaduan tiga unsur pembentuk budaya Semarangan, yakni Jawa, Cina, dan Arab.
Pada awal diadakannya Dugderan, R.M. Tumenggung Purboningrat telah membaca persoalan perbedaan jatuhnya awal Ramadan. Ia pun berinisiatif mengumpulkan warganya di Masjid Agung Kauman Semarang di dekat Pasar Johar. Sang Bupati berpidato di hadapan rakyatnya dan mengimbau untuk berpuasa dan berhari raya secara bersama-sama. Imbauan tersebut disambut posistif oleh warga.