Mohon tunggu...
Suhindro Wibisono
Suhindro Wibisono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

. ~ ~ ~ ~ " a critical observer " ~ ~ ~ ~ ( 5M ) ~ SPMC = "Sudut Pandang Mata Capung" ~ yang boleh diartikan ~ "Sudut Pandang Majemuk" || MEMPERHATIKAN kebenaran-kebenaran sepele yang di-sepele-kan ; MENCARI-tahu mana yang benar-benar "benar" dan mana yang benar-benar "salah" ; MENYUARAKAN kebenaran-kebanaran yang di-gadai-kan dan ter-gadai-kan ; MENGHARAP kembali ke dasar-dasar kebenaran yang di-lupa-kan dan ter-lupa-kan ; MENOLAK membenarkan hal-hal yang tidak semestinya, menolak menyalahkan hal-hal yang semestinya. (© 2013~SW)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"(Belajar Baca) Lebih Mudah Baca Ahok atau Baca Jokowi?" || #KETIKA

6 Februari 2015   08:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:44 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_395220" align="aligncenter" width="630" caption="ciputranews.com"][/caption]

Kompasiana. KETIKA Presiden mencalonkan BG dan ternyata beberapa hari kemudian calon tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, itulah awal mula terbitnya serial Cicak VS Buaya saat ini. Lalu siapa yang paling bersalah dalam kisruh yang masih berlangsung ini? Hayo siapa menurut Anda tanpa bermaksud pro salah satu pihak? Memberi jawaban netral adalah tidak mungkin, bahkan setelah keputusan pengadilan itu sekalipun, karena rasa keberpihakan tidak mudah untuk ditukar. Bukankah begitu juga yang terjadi dengan gonjang-ganjing Pilpres terakhir, sampai detik ini Anda bisa mendapatkan tanggapan-tanggapan bahkan yang "menganggap" Prabowo adalah "pemenangnya" dan seharusnya sebagai "presiden" mereka. Keberpihakan hanya bisa dihindarkan oleh sangat sedikit manusia di Dunia ini, karena memang mereka layak mendapat julukan Nabi/Resi/"Guru"/Malaikat/Dan sebagainya .... Itu hanya julukan lho ya, bukan mau menyamakan Nabi dengan Resi dan seterusnya. Hanya menggambarkan bahwa manusia tanpa rasa keberpihakan adalah memang sangat langka bukan?

KETIKA Presiden mencalonkan BG, lalu KPK menetapkan sebagai Tersangka dibarengi pernyataan bahwa nama BG sudah diberi tanda merah, sedangkan rapor tanda merah tersebut dipegang oleh Presiden, kenapa Presiden justru mencalonkan yang bersangkutan? Kalau pernyataan KPK tidak benar bahwa rapor merah itu memang pernah ada dan diberikan, bukankah seharusnya Presiden meluruskan? Itulah sebab keyakinan bahwa rapor merah itu ada bukankah susah terbantahkan? Walaupun manusiawi apakah kita harus mengatakan Presiden "lupa" padahal waktunya belum lama? Bahkan sangat tidak elok kalau kita mengatakan Presiden "pikun" bukan? Untuk hal sepenting itu, saya pikir hampir mustahil kalau presiden gegabah melakukan itu semua, bukankah Presiden didampingi orang-orang pilihan yang siap memberi masukan dan juga mengingatkan? Atau kita juga harus meragukan sistem dokumentasi Istana Negara?

KETIKA logika-logika itu tersuguhkan, tidak perlu berpikir hebat bahwa pencalonan tersebut ada nuansa harus dilakukan oleh Presiden bukan? Atau ternyata kita semua salah baca logika, Ahok lebih mudah terbaca karena ceplas-ceplosnya. Walau dengan data kenyataan begitu kekehnya semua tokoh partai PDIP dan Nasdem, termasuk Ketumnya, yang sampai detik artikel ini dibuat untuk tetap menyuarakan pelantikan terhadap BG. Awalnya memang hampir semua tokoh partai KMP juga menyuarakan pelantikan, tapi sesudah Ketum Gerindra tandang ke Istana Bogor jumpa Presiden, nada suara jadi berubah bak petasan terguyur hujan. Kemana politisi yang sebelumnya menyuarakan impeachment, dari Komisi III utamanya? Bahkan tidak sedikit para profesional atau ahli tata negara juga lantang bersuara berdalih hukum dan konstitusi, Presiden "harus" melantik karena tidak ada jalan lain, sementara ahli tata negara lain berlawanan pendapatnya sambil mempertanyakan "pelanggarannya" dimana jika Presiden tidak melantik? Kita akan membuktikan apakah yang mengharuskan melantik akan menuntut Presiden karena melanggar hukum dan atau konstitusi sebab Presiden tidak melantik, atau kita terpaksa harus memberi stempel bahwa mereka sebetulnya telah "melacurkan" keahliannya jika tidak melakukan itu? "Pelacur murahan" adalah ketika mereka semua nantinya baik tokoh politik maupun yang bertitel banyak, tidak konsisten menyuarakan kayakinannya seperti semula. Bukankah pameo paling sering kita dengar adalah "Biar langit runtuh, kebenaran harus tetap ditegakkan". Dan saya menerka akan terjadi pem-bebek-an pada semua tokoh-tokoh yang merasa paling hebat itu(sudah ya?), sekaligus bukti terjadi "pelacuran" titel yang berjubel disandangnya. Tapi itu sangat memprihatinkan kita sebagai Bangsa ..... Ayo kita nantikan, semoga Presiden tidak jadi melantik yang bersangkutan, supaya saya tidak pakai masker untuk menutupi jati diri karena telah salah memprediksi.

KETIKA Hasto, Pramono, Effendi, dan kawan kawan sealiran kekeh berpendapat penetapan BG sebagai tersangka adalah rekayasa politik, dan sejenisnya, jika ditarik garis merahnya adalah tetap ingin pelantikan itu dilanjutkan. Gelar kesaksian juga dilakukan di Komisi III oleh Hasto, dan tidak ada yang baru seperti yang sudah pernah dilakukan didepan awak media. Hanya ada kesaksian tentang foto AS yang diambil pada zaman "dinosaurus", lalu yang memberi kesaksian juga tidak yakin urgensinya untuk bisa dikaitkan dalam menjungkalkan AS. Bukan bermaksud meremehkan kesaksian Hasto, tapi pertama saya akan mengatakan bahwa kesaksian yang diberi label sebagai "pribadi" itu, pendapat saya pribadi adalah "direstui" juga oleh PDIP dan sepengetahuan Ketumnya juga. Sebagai pemerhati, padanannya adalah kemana suara Rieke, Adian, Budiman, Eva yang selama ini sering terdengar menggambarkan mewakili rakyat atau memposisikan sebagai aktivis? Itulah salah satu petunjuk, tidak adanya independensi, semuanya harus ada restu, begitu juga dasar penilaian saya terhadap kesaksian Hasto, tentu saja maaf kalau ternyata salah. Tapi "salah" disini maksud saya adalah bukan menyalahkan kebenaran ceritanya, tapi tentang restunya. Sangat mungkin saya juga percaya bahwa pertemuan-pertemuan itu memang ada, juga sangat mungkin AS tergoda jabatan, walau didalihkan apapun memang selayaknya pertemuan-pertemuan itu tidak seharusnya terjadi, kalau ingin bersih seharusnya AS ditemani pimpinan yang lain, sebagai ketua KPK kalau tidak paham tentang hal itu, justru kasihan lembaganya. Dan paling nelongso mendengarkan kesaksian Hasto yang terketuk nurani-nya karena kenyataan itu, selain saya nelongso, juga ngenes ternyata Hasto sendiri dan konco-konco saksi yang diceritakan merupakan aktor dalam pertemuan itu. Ibarat pesta sabu yang tertangkap, bukankah semua yang terlibat juga salah? Tidak ada masalah kalau maksud dari Hasto adalah insyaf atas kekilafan yang pernah dilakukan, tapi yang tersirat seperti pahlawan kesiangan yang lupa memaknai bahwa yang bersangkutan juga adalah aktor dalam pertemuan haram yang didramatisasinya, juga harus dipertanyakan kenapa insyafnya sambil menyalahkan terbitnya status tersangka BG. Syukur kalau terinspirasi mantan sejawatnya Agus Condro pada kasus Miranda Goeltom.

KETIKA
mengingat sejarah KPK yang belum pernah salah dalam penetapan tersangka kepada seseorang dan atas dasar kolektif kolegial, juga tidak punya hak SP3, misal AS salah dan kita anggap AS dipecat dari KPK, apakah hal itu harus ditebus dengan pemutihan BG dan menghilangkan status tersangka-nya? Apakah itu yang ingin ditegaskan dengan membuat tersangka semua pimpinan KPK? Lalu kalau semua pimpinan KPK sudah jadi tersangka, apakah itu bukti BG jadi suci? Bukankah mereka menetapkan BG sebagai tersangka mewakili Institusi yang bernama KPK, semua pimpinannya kalau terpaksa harus jadi tersangka, apakah itu bisa menggugurkan status tersangka BG? Bukankah harusnya pengadilan yang akan membuktikan? Kalau hal itu bisa memutihkan status seseorang, apa jadinya dengan semua perkara yang pernah ditangani oleh mereka? Saya berpendapat itu adalah link yang tidak nyambung, jadi tidak paham apa yang ingin dicapai oleh PDIP sebagai partai yang justru pengusung Presiden Jokowi.

KETIKA ingat doeloe di era Orde Baru banyak yang menjuluki DPR adalah tukang stempel Pemerintah, dan saya melihat lewat kacamata plus saya yang semikin tebal, hal itu juga dilakukan oleh DPR sekarang. Fit and Proper Test terhadap calon Kapolri yang sudah tahu dinyatakan sebagai tersangka kenapa aklamasi diloloskan? Lalu sekarang berbondong-bondong mengatakan bahwa DPR sudah berproses baru dinyatakan sebagai tersangka, itu argumentasi apa lagi? Bukankah seluruh rakyat tahu urutan kejadiannya: penetapan "tersangka", sehari kemudian kunjungan ke rumah calon, lalu besoknya lagi baru pelaksanaan Fit and Proper Test di Komisi III DPR? Dan untuk itupun politisi berkilah bahwa pelaksanaan Fit and Proper Test itu sejatinya juga dilaksanakan melalui diskusi-diskusi non formal sebelum formalnya itu sendiri. Indahnya berargumentasi, semakin melupakan nalar sehat, maunya benar sendiri. Kalau kenyataan itu benar, kenapa Demokrat bisa berbeda suara, bukankah Demokrat mengetahuinya status tersangka juga sama waktunya dengan kita semua? Apalagi ketika mereka berargumentasi menghargai keputusan Presiden yang telah mengajukan sang calon, apakah itu bukan mbebek namanya, apa bedanya dengan tukang stempel di era Orba? Padahal sebelumnya dengan gagah semuanya mengatakan akan mengkritisi langkah-langkah Pemerintah jika dipandang tidak tepat. Sakit .....

KETIKA Presiden pernah mengatakan menunggu pra-peradilan, saya justru khawatir Presiden terjebak jeratnya sendiri. Bagaimana kalau pra-peradilannya membuat keputusan "nekat", entah karena faktor X apa, ternyata keputusannya justru tidak sama dengan prediksi banyak orang. Lalu gugatan BG dikabulkan, apa yang akan dilakukan oleh Presiden? Bukankah logikanya harus melantik? Kalau memang Presiden "sejatinya" menginginkan hal tersebut, sudah sangat betul menunggu hasil praperadilan, tapi kalau menuruti kehendak rakyat (walau ngga jelas), Presiden semestinya memutuskan sekarang. Senin 9 Feb atau Selasa 10 Feb pagi masih sempat karena saya yakin Pengadilan belum memutuskan. Atau jangan-jangan hal yang akan membuktikan rakyat banyak yang salah baca Presidennya?

KETIKA kita akan membeli kain untuk dibuat baju disuatu toko, sangat mungkin pemilik toko kain merekomendasikan kain tertentu sesuai kriteria yang kita inginkan. Pemilik toko kain beruntung karena dagangannya laku, dan kita sangat mungkin merasa senang karena mendapatkan kain yang diharapkan. Lalu kita jahitkan kain itu supaya bisa jadi baju, tapi setelah baju itu kita pakai dan ternyata agak gerah dipakainya, siapa yang harus kita salahkan? Bisa saja kita merasa tertipu oleh penjual kain, tapi bukankah dia tidak memaksa kita harus membeli? Jika ternyata baju yang kita pakai sangat kita suka, kita pasti sangat senang dengan baju itu. Begitu juga dengan Presiden pilihan kita yang disodorkan oleh partai, Presiden kalau diumpamakan sebagai baju yang telah kita beli(pilih) sudah selayaknya memberikan kenyamanan atau lebih dekat berhubungan dengan kita sebagai pemilik atau telah memilihnya, bukan dekat dengan penjualnya atau partai pengusungnya bukan? Jadi apa yang dikatakan para tokoh adalah benar adanya, sudah selayaknya Presiden lebih mengutamakan rakyat dari pada partai pengusungnya, karena memang presiden dipilih untuk menjadi Presidennya rakyat bukan Presidennya partai. Presiden ke 3 NKRI juga mengingatkan, partai pemenang hanya dipilih tidak lebih dari 20 persen oleh rakyat, sedangkan Presiden dipilih oleh lebih 50 persen. Maka ketika Partai pengusung Presiden tidak sependapat dengan Presiden karena Presiden pro rakyat, saya jadi berpikir jangan-jangan partai ini memang spesialisasinya sebagai partai oposisi, jadi tidak betah berlama-lama sebagai partai penguasa. Hal itu diperkuat dengan banyaknya opini tokoh partainya untuk bersuara lantang yang sangat nyata tertangkap tidak pro Presiden, karena suara itu bukan dari anggota partai yang mbalelo, itulah sebab menyiratkan suara dari pemimpin partainya. Semoga saya salah ngrasani PDIP partai dimana Presiden juga anggotanya. (SPMC SW, Februari 2015)

[caption id="attachment_395221" align="aligncenter" width="590" caption="politik.kompasiana.com"]

14231611441722219516
14231611441722219516
[/caption]

Artikel-artikel terkait @Kompasiana:

(Puisi Sensi)
"TELANJANGI DEWAN PENIPU RAKYAT"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun