Sebelum masuk ke inti pembahasan, saya hendak menjelaskan selayang pandang tentang Manggarai supaya pembaca memiliki gambaran. Manggarai Raya merupakan wilayah yang terletak di ujung Barat Pulau Flores, Provinsi NTT.
Manggarai Raya terdiri atas tiga kabupaten, yakni Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Awalnya hanya terdiri dari satu kabupaten, yakni Kabupaten Manggarai. Kemudian masyarakat dari tahun ke tahun semakin berkembang sehingga sekarang berkembang menjadi tiga kabupaten.
Mayoritas masyarakat Manggarai bermatapencaharian sebagai petani. Dan sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani sawah yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini.
Saya mengulas secara khusus tentang petani sawah karena sejauh pengamatan saya, sudah berpuluh-puluh tahun petani Manggarai mengolah sawah, namun kondisi ekonominya tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Sehingga muncul pertanyaan berikut.
Kenapa ekonomi petani sawah tidak berkembang?
Ada dua alasan pokok kenapa ekonomi petani sawah Manggarai tidak berkembang. Pertama, Penggunaan pupuk kimia. Pola pengolahan sawah di Manggarai sekarang ini sangat dipengarui oleh kehidupan modern yang mental instan. Maunya serba cepat.
Hal ini tampak pada kebiasaan masyarakat yang lebih suka memakai pupuk kimia yang mudah didapatkan daripada memakai pupuk organik yang memang proses pengolahannya cukup lama. Padahal penggunaan pupuk organik dapat menyuburkan tanah dan meningkatkan jumlah padi yang dihasilkan setiap tahunnya.
Sementara penggunaan pupuk kimia dapat mengakibatkan kerusakan pada tanah dan tentu mengurangi produktivitas.
Selain itu, jumlah biaya yang dikeluarkan sejak proses penanaman bibit padi sampai pada proses panen, lumayan besar. Sekitar tahun 90-an, petani sawah masih meneruskan tradisi lama yakni tradisi "DODO" (gotong royong secara bergantian ketika menanam padi).
Misalnya, pekerjanya terdiri dari 10 orang. Pada hari pertama ke-10 pekerja tersebut menanam padi di sawah si A, hari kedua menanam  di sawah si B, dst. Jadi, tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membayar para pekerja.
Namun, tradisi "DODO" tersebut  semakin tergerus oleh jaman dan sudah mulai ditinggalkan karena masyarakat lebih memilih dibayar menggunakan uang cash. Semakin banyak jumlah pekerja maka semakin besar pula jumlah pembayarannya.