Mohon tunggu...
Suhail Guntara
Suhail Guntara Mohon Tunggu... Akunting

Iseng aja nulis. Suka baca manga dan nonton anime

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Perempuan dan Inklusivitas: Mendorong Kesetaraan dan Keadilan di Tempat Kerja

21 April 2025   13:00 Diperbarui: 21 April 2025   12:05 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setiap 21 April, bangsa Indonesia mengenang sosok R.A. Kartini sebagai pelopor emansipasi perempuan dan simbol perjuangan menuju kesetaraan. Namun, lebih dari sekadar peringatan seremonial, Hari Kartini seharusnya menjadi momen refleksi untuk melihat sejauh mana kita, sebagai masyarakat, telah bergerak menuju ruang-ruang yang lebih adil juga setara, termasuk di dunia kerja. Dalam era modern, isu inklusivitas di tempat kerja menjadi sangat relevan.

Inklusivitas bukan hanya tentang keberagaman secara kasat mata, seperti gender, usia dan latar belakang budaya, tetapi juga mencakup bagaimana setiap individu diperlakukan secara adil, didengar suaranya, dan diberi kesempatan yang sama untuk berkembang. Ketika tempat kerja mampu menjadi ruang yang inklusif, dampaknya begitu nyata yaitu kepuasan kerja yang meningkat karena karyawan merasa dihargai dan diterima apa adanya.

Produktivitas akan tumbuh dengan sendirinya karena setiap orang bisa bekerja tanpa rasa takut akan diskriminasi atau pengucilan, kreativitas pun akan berkembang karena banyaknya perspektif yang saling melengkapi. Penelitian bahkan menunjukkan bahwa organisasi yang menghargai keberagaman dan menerapkan praktik inklusif cenderung lebih inovatif dan adaptif dalam menghadapi tantangan zaman. Seperti penelitian yang dilakukan oleh McKinsey & Company, melalui laporan terbarunya yang berjudul "Diversity Matters Even More: The Case for Holistic Impact" (Desember 2023), mengungkapkan bahwa perusahaan dengan tim kepemimpinan yang beragam secara gender dan etnis memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mencapai kinerja keuangan yang lebih baik. Selain itu, keberagaman dalam tim eksekutif juga dikaitkan dengan pertumbuhan holistik yang lebih besar, dampak sosial yang lebih signifikan, dan tingkat kepuasan karyawan yang lebih tinggi. Penelitian ini mencakup data dari 1.265 perusahaan di 23 negara dan enam wilayah global, menunjukkan bahwa keberagaman tidak hanya berkontribusi pada kinerja keuangan, tetapi juga pada inovasi dan adaptabilitas organisasi dalam menghadapi perubahan zaman.

Selain itu, studi dari Boston Consulting Group (BCG) menunjukkan bahwa keberagaman dalam tim manajemen meningkatkan kapasitas inovasi perusahaan dengan memperluas ragam ide dan pendekatan. Perusahaan dengan tim manajemen yang lebih beragam menghasilkan hampir setengah dari pendapatan mereka dari produk dan layanan yang diluncurkan dalam tiga tahun terakhir, serta memiliki margin EBIT yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki keberagaman manajemen di bawah rata-rata.

Lebih lanjut, penelitian yang diterbitkan di arXiv oleh Balazs Vedres dan Orsolya Vasarhelyi pada tahun 2022 menunjukkan bahwa keberagaman gender dalam tim dapat meningkatkan kreativitas kolektif, asalkan diimbangi dengan inklusi yang maksimal. Tim dengan keberagaman gender yang tinggi dan tingkat inklusi yang tinggi menunjukkan peningkatan kreativitas yang signifikan, mengindikasikan bahwa keberagaman tanpa inklusi tidak memberikan manfaat maksimal dalam hal inovasi.

Berdasarkan temuan-temuan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi yang menghargai keberagaman dan menerapkan praktik inklusif tidak hanya meningkatkan kinerja keuangan, tetapi juga memperkuat kemampuan mereka untuk berinovasi dan beradaptasi dalam menghadapi tantangan zaman.

Namun, menciptakan lingkungan kerja yang inklusif tidak terjadi begitu saja. Dibutuhkan kesadaran, niat, dan tindakan nyata dari seluruh lapisan organisasi. Inklusivitas harus dimulai dari kebijakan yang berpihak pada keadilan, mulai dari proses rekrutmen yang terbebas dari bias, promosi berdasarkan meritokrasi, hingga perlindungan terhadap pelecehan dan diskriminasi. Edukasi menjadi kunci penting pelatihan rutin mengenai bias tak sadar, komunikasi inklusif, serta kesadaran gender dapat membantu membentuk budaya kerja yang lebih terbuka. Selain itu, penting pula untuk menyediakan ruang-ruang dialog di mana semua karyawan bisa menyampaikan gagasan atau keluhannya tanpa rasa takut. Salah satu aspek penting dalam mendorong inklusivitas adalah fleksibilitas kerja. Banyak perempuan, terutama di Indonesia, masih harus menyeimbangkan peran profesional dengan tanggung jawab domestik. Kebijakan kerja yang adaptif, seperti jam kerja fleksibel atau opsi kerja dari rumah, bisa sangat membantu menciptakan ruang kerja yang lebih ramah terhadap kebutuhan perempuan, tanpa mengorbankan profesionalisme mereka.

Dalam konteks ini, perempuan memiliki peran krusial, bukan hanya sebagai pihak yang terdampak, tapi juga sebagai penggerak perubahan. Perempuan yang berada di posisi kepemimpinan atau memiliki pengaruh dalam organisasi bisa menjadi contoh nyata bahwa keberagaman itu kekuatan, bukan hambatan. Mereka dapat membuka jalan bagi perempuan lain, serta kelompok-kelompok yang kerap terpinggirkan, untuk turut bersuara dan berpartisipasi. Perempuan juga sering kali membawa pendekatan kerja yang lebih kolaboratif, empatik, dan partisipatif nilai-nilai yang sangat selaras dengan semangat inklusivitas. Dengan menjadi mentor, pendukung, maupun advokat bagi sesama, perempuan dapat menciptakan efek domino yang memperluas ruang-ruang inklusif di dunia kerja.

Namun tentu saja, jalan menuju tempat kerja yang benar-benar inklusif masih dipenuhi tantangan. Bias tidak selalu muncul dalam bentuk yang terang-terangan; banyak yang berlangsung secara halus, bahkan tidak disadari oleh pelakunya. Misalnya, anggapan bahwa perempuan kurang tegas untuk jadi pemimpin, atau bahwa mereka kurang cocok menangani proyek besar karena dianggap memiliki prioritas keluarga. Kurangnya representasi perempuan di posisi strategis juga menghambat lahirnya kebijakan yang berpihak pada kesetaraan. Di sisi lain, budaya kerja yang masih patriarkal sering kali membuat suara perempuan diabaikan atau diremehkan. Menghadapi semua ini, solusi harus diambil secara sistemik dan konsisten. Organisasi perlu berani melakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur dan budaya kerjanya, termasuk membuka ruang bagi feedback dari karyawan. Ukuran-ukuran keberhasilan inklusivitas harus menjadi bagian dari indikator kinerja organisasi, bukan sekadar retorika.

Hari Kartini adalah saat yang tepat untuk kembali merenungkan makna perjuangan dalam konteks kekinian. Kesetaraan di tempat kerja bukan sekadar angka statistik atau jargon di brosur perusahaan, melainkan perjuangan nyata yang melibatkan perubahan budaya, kebijakan, dan cara pandang. Perempuan, dengan segala potensinya, dapat menjadi pemimpin dalam perubahan ini, tidak hanya memperjuangkan tempat untuk dirinya sendiri, tetapi juga membuka jalan bagi generasi berikutnya.

Di Hari Kartini tahun ini, kita diingatkan bahwa perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan belum usai dan justru kini menemukan bentuknya yang baru dalam ruang-ruang profesional. Perempuan tak lagi hanya memperjuangkan tempat untuk didengar, tetapi juga menjadi pendorong utama terciptanya budaya kerja yang lebih inklusif, kolaboratif, dan berdaya saing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun