Mohon tunggu...
Suguh Kurniawan
Suguh Kurniawan Mohon Tunggu... Editor - video editor | vidographer | street photography | film doumenter | Sampel project ada di youtube dan Instagram: Docu Bandung

Apabila engkau bukan putra raja atau putra ulama besar, maka menulislah!” (Imam Al Ghazali)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wayang dan Etika Kepemimpinannya

16 Oktober 2011   09:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:53 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

2. Napak Sancang (berdiri diatas air)
Pluralisme adalah fitrah yang tak dapat disanggah bagi bangsa multi enitnis, agama dan budaya seperti Indonesia. Keberagaman membuatnya makin kaya dengan potensi dan sumber daya. Namum faktanya kerap perbedaan menjadi pasal penyulut konflik. Tragedi Ambon, Poso atau Sampit dapat dijadikan bahan renungan, dimana clash antar agama dan suku berakhir dengan huru hara serta banjir darah.

Dalam hal ini seorang pemimpin harus bisa ‘napak sancang’ dalam arti dapat berdiri diatas semua golongan. Kehadirannya adalah perwujudan dari bangsa yang memiliki keragaman latar belakang dan asal usul namun tetap dapat tampil utuh dihadapan bangsa bangsa lain. Ia memiliki kelihaian untuk meredam konflik dengan memeberikan cara pandang pada rakyatnya bila kepentingan bersama lebih utama dari kepentingan golongan. Serta roda pembangunan tak dapat berputar oleh satu elemen bangsa saja tapi semua memiliki tanggung jawab untuk bergerak. Dalam prespektifnya, pertikaian hanya akan mebuat progres pembangunan mundur. Kesejahteraan rakyat bisa makin buruk karena kondisi keamanan yang tak kondusif untuk menjalanan kegiatan ekonomi dengan aman. Persaudaraan, perdamaian dan sinergi antar hendaknya dapat dikampanyekan oleh seorang pemimpin, tak musti hanya pada pemilu saja tapi sifatnya prefentif jauh sebelum benih benih konflik baru muncul. Selain itu tiap elemen bangsa musti insyaf pula dari mempermasalkan hal remeh temen dan memilih rekonsiliasi untuk menyelesaikannya.

3. Bisa Ngapung (Bisa Terbang)
Ketika Bima merentas laut untuk mencari Tirta Amerta (Air Kehidupan) di samudra selatan ia mengalami cobaan maha dahsyat. Selain harus menerjang gelombang yang sedang bergejolak, Bimapun harus bertarung melawan seekor naga raksasa bernama Nembur Nawa. Nyawanya dipertaruhkan dalam suatu pertarungan. Atas keteguhan hati dan tekatnya pertarungan itu berakhir dengan tewasnya sang naga. Sementara Bima meski telah kepayahan dapat melanjutkan perjalan untuk meraih tujuannya.

Kisah singkat Bima diatas bisa kita terjemahkan dalam dua dimenasi. Satu, seperti Bima pemimpin harus harus memiliki visi, tujuan serta cita cita yang dirancang secara konstruktif. Mensejahterakan rakyat harus menjadi tujuan yang utama. Unsur skala prioritas harus dikedepankan. Anggaran belanja negara jauh lebih pas bila dialokasikan untuk kepentingan real seperti menyelanggarakan sekolah gratis, membuka lapangan kerja baru atau mendirikan rumah sakit cuma cuma. Kearifan mengelola anggaran adalah cermin atas sikap egalitarian elit yang sesungguhnya.

Kedua, seperti dikatakan oleh Prof. Dr. D.H. Burger ahli kebudayaan Jawa dari Belanda, wayang menyiratkan nilai nilai Riderlijk Cultuur atau budaya ksatria. Seperti Bima seorang pemimpin adalah penjaga martabat diri dan bangsanya. Dalam konteks global ia tak hanya manut dan menurut pada kekuatan adi kuasa tapi memainkan posisi tawar dengan kemampuan diplomasi yang cakap. Sikap tegasnya akan mengangkat harga diri bangsanya bahwa ia bukan budak, bukan pula jongos Negara Negara besar. politik bebas akitfnya tak sekedar menjadi retorika kosong tapi menggambarkan keberanian mengambil posisi atas nilai nilai keadilan dan pembelaan pada bangsa bangsa ditindas. Inilah dua inti dari istilah bisa ngapung, yakni gambaran pemimpin yang dapat menggenggam dengan erat martabat diri dan bangsanya baik dinegrinya ataupun dipentas dunia.

Menyongsong Momentum Perubahan
Belajar dari nilai nilai kearifan wayang adalah suatu keniscayaan. Darinya seorang pemimpin bisa berkaca diri dengan segala kerendahan hati kemudian mulai melangkah untuk merekonstruksi bangsanya. Diharapkan dapat terjadi kesadaran nilai nilai saat mereka sedang menduduki suatu jabatan tertentu. Segala macam pencitraan dan sikap bermewah mewah diharapkan dapat diganti dengan satu kata yang amat sederhana namun masih terbilang langka dinegri ini, pengabdian yang tulus dan total.

Mensejahterakan Indonesia memang pekerjaan sulit. Tapi rasa optimis akan bergulirnya perubahan musti tetap dijaga dalam diri. Seperti disampaikan diatas, mulai berbuat dengan tindakan nyata ialah langkah yang musti ditempuh. Kita tak bisa lagi mengulur waktu dan menunggu bila memang menghendaki perubahan terjadi dengan segera disegala lini di negri ini. “Let me fasten my seat belt, and I’am now ready to take off,” ujar Kartini Sjahrir dalam ‘Soe Hok Gie Sekali Lagi’ dan mulai bergeraklah. Sampurasun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun