Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengambil Hikmah dari Media dan Pekerjaan Rumah

26 April 2020   13:35 Diperbarui: 27 April 2020   13:13 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
menutup jalan masuk kampung demi lockdown - jogja.tribunnews.com

Banyak orang tidak pernah membayangkan bakal seperti ini jadinya. Virus Corona, yang tidak kasat mata dan kemudian dinamakan Covid-19, menjadi hal buruk tak terkirakan. Bulan Januari 2020 masih samar-samar terdengar kabarnya. Lalu Februari berhembus lebih kencang, dan mengkhawatirkan.

Maret terasa terus mendaki antara kekhawatiran-ketergesaan dan nyaris tak percaya, dan April ini merupakan puncaknya. Corona sudah mengharubiru semua sisi dan sudut kehidupan manusia, sampai pun di ujung-ujung dunia.

Seperti banyak orang lain, saya dan keluarga, merasa baik-baik saja. Tidak kurang suatu apa. Sampai kemudian harus mengenakan master dan sarung tangan, lebih banyak cuci tangan menggunakan sabun, dan berhenti keluar halaman rumah.

Melalui ponsel, media sosial, dan layar televisi tahulah saya betapa banyak gejolak di luar sana. Kata 'lockdown' begitu saja dengan gagah mereka gunakan, sambil tidak tahu persis apa dan bagaimananya.  Seperti latah, kampung-kampung dipalang, seolah virus hanya datang dari luar, sedangkan orang-orang di dalam belum ada yang tertular maupun menjadi carrier alias pembawa virus Corona meski tidak menunjukkan gejala-gejalanya.

Pihak lain tetap beraktivitas seperti biasa. Mereka berdalih, tidak makan kalau tidak beraktivitas. Berdiam diri di rumah memang sehat, tetapi kalau tidak punya bahan makanan dan dikejar-kejar aneka tagihan bisa-bisa mati lemas tak terurus. Artinya, ya sama saja gawatnya.

Lalu ketika semua pintu rezeki seperti tertutup, mereka --para pekerja informal dan nonformal dan pekerja yang diPHK- memilih pulang kampung. Bukan mudik. Berharap di kota mendapatkan bansos saja tidak mungkin mencukupi kebutuhan sekian lama. Lalu siapa yang harus membayar tagihan (kontrakan, dan aneka cicilan)? Berharap semua itu dihapuskan?

Miris melihat di media orang-orang yang hendak pulang kampung dipaksa putar-balik, kembali ke kota di mana mereka tidak punya apa-apa. Bahkan harapan pun pupus sudah.

Sebagai pensiunan, saya merasa beruntung menjadi warga kota. punya rumah meski mungil. Tidak harus pulang kampung. Rencana mudik pun tidak ada. Dua tahun sekali saja saya dan keluarga mudik. Untuk menziarahi kubur orangtua, dan bertemu kakak serta adik-adik dan keluarga mereka yang juga mudik dari kota-kota lain. Tahun ini saya memang tidak punya jadwal mudik.

*

Lalu kesibukan apa yang bikin saya asyik di rumah saja?

Sebulan terakhir beberapa aktivitas yang saya lakukan bersama anak dan isteri, yaitu persiapan Ramadan dan Lebaran. Maksud saya, menabung bahan mentah untuk keperluan dua event itu. Selebihnya membenahi isi rumah. Mulai dari membersihkan dan menata hingga memperbaiki satu-dua kerusakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun