Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merekam Jejak Toleransi

12 Februari 2017   16:43 Diperbarui: 12 Februari 2017   20:23 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wani ngalah luhur wekasane, Le”, kata Bapak sewaktu saya masih kecil. Itulah salah satu pesan yang masih saya ingat sampai sekarang, di samping pesan-pesan lain yang berkaitan dengan kearifan Jawa. Berani mengalah, hidup kita akan dimuliakan akhirnya.

 Pesan yang membekas itu membentuk pribadi saya pada hari-hari selanjutnya. Saya lebih suka berdamai daripada berkelahi. Saya lebih suka menjadi teman daripada menjadi lawan.  Kalau ada ketidaksepakatan saya dengan pihak lain, saya hanya diam, mengalah, dan mencoba memperbaiki diri untuk lebih memahami kemauan orang lain. Hingga suatu saat dalam perkembangannya saya tak hanya memiliki pedoman hidup “seribu teman terlalu sedikit, seorang musuh terlalu banyak”, tetapi juga menjalaninya, menerapkannya dalam keseharian. Sampai kini.

Saya berasal dari keluarga sangat sederhana. Anak ketiga dari enam bersaudara yang diharapkan dapat “mikul dhuwur mendhem jero”. Bapak dan Simbok saya tidak tamat Sekolah Rakyat. Bapak saya bekerja sebagai pesuruh di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) Swasta, milik sebuah Yayasan yang dikelola oleh Gereja. Simbok saya membuka warung nasi pecel. Kami tinggal di Desa Pohsarang, kurang lebih 10 km sebelah Barat kota Kediri. Desa ini sekarang terkenal sebagai desa wisata religi Gua Maria Lourdes.

Desa yang terbelah dua membujur dari Barat ke Timur ini sangat unik. Pada belahan Barat penduduknya sebagian besar beragama Katolik, dan belahan Timur penduduknya beragama Islam. Keduanya rukun-rukun saja. Pada saat saya masih usia SD, ada penggilingan tahu, dan kandang babi di bagian Barat desa. Meskipun demikian tidak pernah terdengar adanya konflik dengan tetangga yang beragama Islam di bagian Timur.

Di tempat kami tinggal,  tetangga di depan rumah dan sebelah kanan beragama Islam, sementara tetangga di sebelah kiri rumah adalah rumah Yuk Djing, seorang Cina yang menikah dengan Mbokde Darsi, penduduk setempat dan menjadi juragan palawija. Sepanjang masa sekolah rakyat dan tinggal di desa ini, tak pernah terdengar adanya konflik dan keributan. Bahkan ketika terjadi pemilihan lurah setelah Lurah Rusmin yang buta aksara meninggal, ternyata yang dipilih adalah Pak Setiyo, yang tadinya guru, dan beragama Katolik. Rakyat tidak protes.

Dari garis keturunan Bapak, simbah beragama Kristen Baptis, Bapak dan dua adik perempuannya beragama Katolik, sementara kakak-kakak Bapak beragama Islam. Dari garis Simbok, ada yang beragama Katolik, Islam dan Kejawen.  Kami tak pernah memasalahkan hal itu. Bahkan kami merasa senang, setiap hari raya keagamaan, kami saling kunjung dan berkumpul bersama.

Sejak kecil kami sudah belajar saling menghargai dan menerima perbedaan. Justru perbedaan itulah yang membuat tali persaudaraan kami menjadi indah. Masih terkesan dan membuat rindu ketika hari puasa dan Lebaran tiba, begitu gembiranya kami yang masih kecil bermain mercon, sambil menikmati cemilan khas desa: rengginang, kripik singkong, tape singkong dan madu mongso. 

Saat hari Natal tiba, kami yang beragama Katolik sibuk membuat dan menghias kandang Natal di gereja, sambil latihan nyanyi.  Semasa kecil, hampir setiap sore kami anak-anak usia SD, tak pernah absen untuk berdoa di gua Maria, sambil mendaraskan tasbih. Sesudahnya, kami saling gegojekan, bermain bersama-sama dengan teman-teman yang tidak ikut berdoa, mengakrabkan tali persahabatan dan persaudaraan yang penuh kehangatan. Inilah kenangan indah yang membangun dan membentuk kami untuk selalu tenggang rasa, solider dan toleran.

Selepas SD, saya tinggal di sebuah asrama di daerah Blitar.  Hanya satu tahun. Kemudian saya kembali ke Kediri menyelesaikan SMP. Beberapa waktu saya numpang di rumah Bulik di Kediri, tetapi setelah Simbok meninggal saat saya kelas dua SMP, saya kembali ke desa Pohsarang dan menempuh jarak sekitar 10 km setiap pagi jalan kaki ke Kediri sampai SMP usai. Di SMP ini pergaulan saya tak hanya dengan teman beda agama, tetapi juga beda suku bangsa. Ada dua orang anak yang bapaknya adalah seorang dokter. Kami memanggilnya Dokter Tjioe. Kami bersahabat akrab dengan mereka.

Tamat dari SMP saya melanjutkan sekolah ke SPG di kota Malang. Setelah tiga bulan menumpang di rumah seorang kakak, akhirnya saya mendapatkan beasiswa atau ikatan dinas yang membuat saya tinggal di asrama. Pergaulan saya semasa di SPG semakin luas. Di asrama kami berasal dari berbagai daerah dan suku bangsa: Madura, Bali, Flores, Kalimantan dan Cina. Kami tetap akrab dan bersahabat. Tak hanya teman, mereka semua adalah saudara-saudara kami. Kalau liburan panjang, kami saling mengunjungi dan bahkan tidak jarang tinggal bersama mereka beberapa hari.

Hukum cinta kasih yang menjadi dasar keyakinan kami memandang orang lain bukan sebagai “orang lain” tetapi sebagai saudara, sesama manusia yang berasal dari Pencipta yang sama. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk menolak orang lain, apa pun agama, suku bangsa, ras, golongan dan bahasanya. Tidak ada alasan untuk tidak mengasihi orang lain sekalipun mereka beda keyakinan, agama, suku dan golongannya. Kami tetap merasa bersaudara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun