Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pahlawan yang Terabaikan

10 November 2017   13:29 Diperbarui: 10 November 2017   13:56 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.pinterest.com/pin/19632948353735964/

Indonesia merupakan negara yang merdeka berkat perjuangan para pahlawan. Mereka bertempur memperjuangkan tanah kelahirannya dari penjajah. Karena jika tanah airnya direbut oleh penjajah, secara tidak langsung harga dirinya juga ikut dikuasai oleh penjajah. Dan jika itu terjadi, konsekuensinya maka Indonesia akan menjadi budak-budak penjajah. Konsekuensi itulah yang tidak ingin dikehendaki oleh pahlawan-pahlawan Indonesia dikemudian hari. Maka merdeka adalah harga mati.

Namun setelah Indonesia merdeka, ternyata masih banyak orang-orang yang mengatakan bahwa “perjuangan belum selesei”. Padahal musuh (penjajah) secara fisik telah berhasil diusir dan ditendang keluar oleh pahlawan-pahlawan Indonesia. Secara resmi, peristiwa itu terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Masa tersebut yang menandai terbentuknya negara Indonesia yang merdeka sampai hari ini.

Kembali ke permasalahan awal, kenapa pasca deklarasi kemerdekaan banyak orang-orang yang masih mengatakan bahwa “perjuangan belum selesei”?.Soekarno sendiri ternyata pernah mengatakan bahwa kemerdekaan itu sebagai jembatan. Jika begitu, maka kemerdekaan yang diperjuangkan oleh pahlawan-pahlawan sampai titik darah pengahabisan bukan sebagai tujuan final, tapi hanya sebagai perantara. Karena sebagai perantara, maka pasca kemerdekaan Indonesia harus terus berbenah. Dan pembenahan-pembenahan ini tidak ada batasnya. Selama masih ada manusia, permasalahan akan selalu ada. Dan selama itulah, pembenahan-pembenahan harus terus dilakukan.

Lantas apa yang harus dibenahi?. Tulisan ini berisi jawaban tersebut. Tulisan ini bukan hendak menghakimi atau mengkritik pembangunan di negeri Ibu Pertiwi. Bukan juga untuk membandingkan antara negara Indonesia dengan negara lain terkait pembenahan. Tapi penulis hanya ingin mengantarkan kepada pembaca yang budiman terhadap pemahaman mengenai pembenahan yang acap kali terabaikan.

Untuk memulai menjawab, penulis teringat oleh ungkapan pepatah bahwa “berubah mulai dari diri sendiri”. Ungkapan yang sederhana, tapi makna yang terkandung di dalamnya sangat luar biasa. Pembenahan yang pertama kali adalah pada diri sendiri. Karena sebanyak apapun pembenahan yang dilakukan oleh pemerintah, jika tidak diimbangi dengan pembenahan pribadi maka hasilnya akan sia-sia.

Pembenahan pribadi ini meliputi dua hal, pertama tindakan. Banyak orang hari ini yang suka mencemooh orang lain tanpa mengetahui penyebab yang pasti. Mereka hanya ikut-ikutan tanpa ada argumen mendasar yang kuat kenapa tindakan itu dilakukan. Misalnya berita-berita di media online banyak yang memberitakan kabar-kabar hoax. Pejabat ini doyan makan somay di pinggir jalan, makanan yang tidak higenis, dan lain sebagainya. Kabar-kabar dari berita sederhana yang kemudian dibumbui oleh kata-kata provokasi terkadang dianggap sebagai pembenaran oleh masyarakat awam. Permasalahannya, masyarakat kita hanya mengenal “kebenaran tunggal”. Tidak apa-apa jika itu memang berita yang benar-benar sebenarnya. Namun akan menjadi masalah jika apa yang diyakini dari berita itu ternyata tidak benar dan digunakan untuk membabat lawan-lawan bicaranya. Kekacauan menjadi ruang terakhir dalam masyarakat yang seperti ini.

Pembenahan tindakan ini akan berimbas pada pembenahan yang kedua, yakni pemahaman. Banyak orang-orang Indonesia hari ini yang sering terjebak pada pemahaman yang menganggap dirinya lebih benar dari yang lain. Dasarnya apa?, dasarnya ya berita-berita hoak yang beredar. Dan kita sering nyinyir dengan berita hoax itu. Entah kenyinyiranitu pada si pembuat berita atau sesama konsumen. Tidak jarang juga kita mengeluarkan kata-kata liar yang kemudian menjadi awal permusuhan antara sesama anak bangsa. Padahal bisa jadi yang bermusuhan itu belum pernah sekalipun bertatap muka, belum mengenal dengan baik. Tapi karena kata-kata yang tertulis di komen-komen yang menyayat hati, maka permusuhan menjadi relasi terakhir antara keduanya.

Kita sering terbuai dengan itu, dan sering melewatkan “hikmah” dari peristiwa tersebut. Padahal kita sadar, bahwa hikmah menjadi pelajaran tertinggi selama manusia menjalani kehidupan di muka bumi ini. Misalnya jika ada berita mengenai pejabat yang telah melakukan korupsi sekian ratus juta. Terlepas berita itu benar atau tidak, kita masih bisa mengambil hikmahnya. Mungkin hikmah yang kita dapat bisa jadi, oooohhh.....ternyata korupsi itu merupakan tindakan yang buruk, ternyata korupsi itu bisa dimulai dengan menipu tanda tangan ya, ternyata korupsi dan lain sebagainya. Dengan begitu secara tidak langsung, tindakan dan pemahaman kita akan berubah menjadi lebih baik.

Guru saya pernah mengajarkan bahwa yang jelek tidak harus dikritik, tidak harus dicemooh. Biarkan yang jelek itu berjalan sesuai dengan pakemnya sendiri, begitupun yang baik. Itu sudah Sunnatullah, sudah kodratnya. Kita justru bisa belajar dari yang jelek, bahwa ini perbuatan jelek, ini perkataan jelek, dan ini berkaitan dengan hal-hal jelek. Maka kita tidak perlu melakukan hal yang sama dengan itu. Sebab kita sudah mengerti, ini yang jelek dan ini yang baik.

Dan menurut penulis, salah satu subjek yang layak disebut dengan pahlawan-pahlawan itu ya mereka-mereka yang melakukan tindakan jelek. Sebab definisi pahlawan hari ini bukan lagi melawan penjajah, tapi yang pas definisinya adalah siapapun yang bisa merubah orang menjadi lebih baik maka dia pahlawan, termasuk penjahat, pencuri, penipu, pelacur dan pe-pe negatif lainnya. Tapi sayang, mereka-mereka ini sering dianggap benalu karena tindakan kita yang senantiasa menghakimi kesalahannya dan pemahaman kita yang tidak sampai menangkap hikmahnya. Sekian, wallahul’alam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun