Di suatu  pagi dibulan juli, halaman sekolah bau tanah basah dan spidol dan kapur yang baru ditorehkan di papan tulis. Seperti ritual tahunan, anak-anak berdiri berjajar dengan seragam yang warnanya masih menyala, buku tulisnya masih wangi toko, dan semangatnya seperti matahari yang baru terbit. Di sana, Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah atau MPLS dimulai.
Bagi sebagian orang dewasa, MPLS hanyalah acara formal. Bagi anak-anak, ini adalah upacara perjumpaan pertama dengan dunia yang akan mereka huni bertahun-tahun ke depan. Tempat di mana teman-teman baru kelak menjadi keluarga kedua, guru-guru menjadi mercusuar, dan tiap ruang kelas menyimpan rahasia kecil yang hanya dimengerti setelah perjalanan panjang.
Kementerian Pendidikan menyebut MPLS wajib tiga hari. Tiga hari itu mungkin terdengar singkat di kalender birokrasi, tapi di hati seorang murid baru, tiga hari itu adalah seribu hal pertama: pertemuan, pertanyaan, kekaguman, dan kadang, sedikit gugup yang disembunyikan di balik tawa.
Namun, ada sesuatu yang berbeda pada MPLS di zaman ini. Anak-anak bukan hanya berkenalan dengan nama wali kelas atau letak perpustakaan. Mereka juga diperkenalkan pada bahasa baru, bahasa yang huruf-hurufnya bukan lagi sekadar A sampai Z, tapi juga 0 dan 1, algoritma, koneksi, data, dan jaringan. Inilah masa di mana pengenalan sekolah tak lagi cukup jika tak diiringi pengenalan teknologi informasi.
Saya ingat, dulu, perkenalan dengan teknologi di sekolah hanya berarti belajar mengetik di mesin tik atau sekali-sekali melihat guru memutar film dokumenter lewat proyektor yang berbunyi seperti motor tua. Kini, anak-anak punya alfabet baru: alfabet digital. Mereka tak sekadar tahu huruf, tapi juga kata kunci; tak hanya menghafal rumus, tapi juga tahu cara mencari simulasi interaktifnya di internet.
Di era digital, MPLS adalah pintu pertama menuju dunia yang terhubung ke segala arah. Literasi digital menjadi seperti kompas. Tanpa itu, anak-anak mungkin akan tersesat di lautan informasi yang ombaknya deras, tak selalu ramah.
Guru yang bijak tahu bahwa memperkenalkan teknologi di hari-hari awal sekolah bukan sekadar mengenalkan aplikasi pembelajaran, tetapi juga mengajarkan cara menimbang benar dan salah di dunia maya, menghormati privasi, dan menjaga jejak digital. Sebab, sama seperti buku catatan, internet pun akan mengingat tulisan kita hanya saja, ia mengingatnya untuk waktu yang sangat lama.
Di ruang-ruang kelas yang berbeda, saya pernah melihat kontras yang mencolok. Ada sekolah di kota, di mana anak-anak MPLS sudah memegang gawai canggih, memotret papan tulis, lalu langsung mengunggahnya ke grup kelas di aplikasi pesan instan. Di desa yang lebih jauh, anak-anak baru pertama kali memegang tablet sekolah, itu pun dengan rasa canggung, seperti memegang benda pusaka.
Di sinilah peran sekolah menjadi sangat penting. MPLS bukan hanya soal orientasi, tapi juga kesempatan pertama untuk mengikis jurang kesenjangan digital. Anak yang datang dari rumah tanpa akses internet perlu diyakinkan bahwa mereka pun bisa, bahwa teknologi adalah alat untuk membebaskan, bukan sekadar milik mereka yang berada di kota.
Ketika sekolah memberi akses merata membiarkan anak mencoba, salah, belajar lagi, ia sedang mengajarkan demokrasi digital. Satu laptop di ruang komputer sekolah mungkin tidak mengubah dunia, tapi ia bisa mengubah dunia satu anak yang menggunakannya.
MPLS sebagai latihan menjadi warga global