Setiap Sabtu di tahun kuda ini saya harus menghadiri undangan pesta pernikahan. Entah karena hujan atau apa, banyak kali yang menikah, dan saya termasuk yang mendapat undangan.
Bagi saya undangan adalah suatu penghormatan, maka saya usahakanpun datang. Tak enaklah kalau tak datang, lagi pula nanti-nanti oleh raja-raja adat namaku bisa dilewatkan kalau sering tak datang. "Ah, parsuma do gokhonon i, so hea tarida" - "percumalah dia diundang tak pernah nampak pun" katanya nanti.
Oleh karena itu, ya diusahakan hadir, minimal setor muka, kalau bisa ikut sampai akhir menikmati jalannya acara.
Kemarin Sabtu, saya juga menghadiri sebuah acara pernikahan. Saya hadir dalam rombongan "hula-hula" dari pihak pihak pengantin perempuan. Posisi puncak - paling dihormati (walaupun harus saling menghormati) - yang pendapatnya menjadi acuan akhir dalam keputusan sinamot - mahar pada pesta tersebut.
"Kami tidak berani memutuskan, sebelum kami tanyakan dulu ke Hula-hula kami, karenanya kami mohon kepada Hula-hula untuk menyampaikan pendapatnya" demikian parhata - juru bicara dari pihak pengantin perempuan meminta pendapat dari kami hula-hula-nya mengenai nilai mahar yang dimohonkan oleh pihak pengantin laki-laki.
Lalu juru bicara dari kami hula-hula menyampaikan restu dan persetujuannya:
Balintang ma pagabe, Tumundalhon sitindaon
Arimuna ma gabe, Molo denggan masipaolo-oloan
"Kalian akan mendapat berkat jika saling mengiyakan" Begitu bunyi persetujuan secara prinsip yang disampaikan juru bicara hula-hula.
Maka acara pun bisa dilanjutkan.
Kebetulan kemarin, di pihak hula-hula pengantin perempuan ada juga dari Karo dan Simalungun. Kepada mereka juga diberikan kesempatan untuk menyampaikan ulos kepada pengantin. Tentu diiringi musik sesuai permintaan. Jika dari Karo maka musiknya "Biring Manggis" dan dari Simalungun meminta musik "Tolu Sahundulan".