Mohon tunggu...
Subagio Waluyo
Subagio Waluyo Mohon Tunggu... Dosen - Taruna

Subagio S Waluyo, Lahir di Jakarta, 5 Maret 1958, sudah berkeluarga (1 istri, 5 anak, dan cucu), Pekerjaan sebagai dosen di FIA Unkris (1988 sampai sekarang), Pendidikan Terakhir S2 Administrasi Publik, Alamat Rumah Jalan wibawa Mukti IV/22, RT003/RW017, Jatiasih, Kota Bekasi 17422

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merdeka! Merdeka! Merdeka?

14 Agustus 2019   21:20 Diperbarui: 14 Agustus 2019   21:25 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

 

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

 1948

Puisi di atas boleh dikatakan sebuah puisi fenomenal yang monumental. Meskipun kata sebagian sastrawan diduga merupakan puisi saduran, isinya luar biasa. Kita bisa membayangkan boleh jadi sang penyair, Chairil Anwar, ketika menulis puisi ini benar-benar disertai dengan semangat heroik yang tinggi sehingga melahirkan puisi yang tidak pernah bosan-bosannya untuk dibacakan atau dideklamasikan. 

Membaca puisi "Karawang Bekasi" kita seolah-olah dimotivasi oleh Chairil Anwar agar mempertahankan negara ini dari cengkeraman tangan-tangan imprialis. Caranya, kita harus siap mengangkat senjata sampai tetes darah penghabisan. Oleh karena itu, tidak ada kata menyerah untuk melawan penjajah yang telah mencengkeramkan kuku-kuku imprialisme-kolonialismenya selama lebih dari 350 tahun.

Ketika puisi ini ditulis usia Chairil Anwar masih sangat muda, baru 26 tahun. Tetapi, dalam usia semuda itu, coba perhatikan isi yang terkandung dalam puisi di atas. Bait pertama puisi "Karawang Bekasi" dimulai dengan sebuah pernyataan Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi/Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi. 

Ini sebuah pernyataan bahwa para pejuang yang berada di Karawang Bekasi telah menjadi korban ketika berhadapan dengan penjajah Belanda yang ingin merebut kembali negara ini. 

Mereka sudah tidak mampu lagi teriak `merdeka!` dan mengangkat senjata. Mereka yang mengangkat senjata adalah pejuang-pejuang muda. Berbekalkan semangat juang yang tinggi, dengan senjata apa adanya, mereka melawan penjajah Belanda. Buat mereka, para pejuang muda, hilangnya 4-5 ribu nyawa tidak ada artinya. Bahkan, mereka mengatakan kalau `kerja belum selesai, belum apa-apa` meskipun mereka telah menjadi `tulang-tulang berserakan` atau `tulang-tulang yang diliputi debu`.

Meskipun telah tiada, mereka minta agar dikenang perjuangannya. Mereka juga berpesan pada bangsa ini agar meneruskan perjuangan mereka. Selain itu, mereka juga berpesan agar menjaga tokoh-tokoh perjuangan yang menjadi tokoh-tokoh proklamator negara ini, yaitu Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir karena berkat jasa mereka negara ini bisa merdeka dari penjajahan. 

Dengan demikian, mereka adalah pejuang-pejuang yang tulus, yang tidak minta imbalan (tanpa pamrih) dari manapun. Mereka hanya minta agar kita yang masih hidup yang sampai saat ini telah menikmati sebuah kemerdekaan tetap mengenang jasa-jasa mereka yang terbaring ribuan pejuang di Karawang Bekasi. Jadi, puisi ini sekali lagi mencoba menggambarkan insan-insan muda yang rela mati demi perjuangan kemerdekaan. Chairil juga meminta kesadaran kita agar generasi penerus bangsa ini melanjutkan perjuangan walaupun negara ini telah benar-benar merdeka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun