OLEH: YOANDA SUASTANTI
PENDAHULUAN
 Diskursus gender mempunyai dua sisi yang berkaitan erat dengan feminisme. Pada satu sisi, diskursus gender membentuk subjek dengan cara mengonstruksi dan memproduksi "pengetahuan" tentang gender, dikotomi maskulin dan feminin, relasi gender, dll. Faktor sosial dan budaya melekatkan gender sebagai identitas subjek.
Dalam konteks sosial dan budaya, laki-laki dan perempuan tidak lagi dimaknai semata-mata sebagai jenis kelamin (biologis), tetapi dimaknai juga sebagai gender (maskulin dan feminin). Pada sisi lain, diskursus gender menepis anggapan umum bahwa para feminis atau pendekatan feminis hanya memperhatikan masalah perempuan saja atau sekadar perlawanan perempuan terhadap laki-laki (Budianta, 2002: 204-205).
Para feminis---mulai dari feminis esensialis sampai feminis posmodern---mengkritik diskursus gender yang sudah terlanjur mengakar di masyarakat. Pada umumnya, masyarakat menganggap bahwa maskulinitas adalah sifat-sifat yang dipunyai oleh laki-laki dan femininitas adalah sifat-sifat yang dipunyai oleh perempuan.
Anggapan-anggapan tersebut menggiring nalar pada hakikat gender sebagai kodrat dan mengaburkan faktor sosial dan budaya sebagai faktor yang mengonstruksi gender. Â Banyak feminis berpendapat bahwa maskulinitas dan femininitas tidaklah setara sebagaimana laki-laki dan perempuan. De Beauvoir (2016: x--xi) menganalogikan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan arus listrik. Laki-laki mewakili arus positif dan netral, seperti tampak pada pemakaian kata "man" yang dapat diartikan dengan 'laki-laki' dan 'manusia', sedangkan perempuan hanya mewakili arus negatif.
Perempuan menjadi subjek yang terpinggirkan, "liyan" dari laki-laki. Lalu, femininitas dimaknai sebagai sifat-sifat yang berlawanan dengan maskulinitas, sifat-sifat yang pasif dan inferior.
Femininitas menjadi kubah tak terlihat yang seakan-akan melindungi, tetapi malah mengurung perempuan. Bagi para feminis gelombang kedua, femininitas dipandang sebagai dasar untuk memahami penindasan yang dialami oleh perempuan (Hollows, 2010: 14).
Berbeda dengan para feminis sebelumnya, feminis posmodern---disebut juga feminis postruktural atau feminis gelombang ketiga--- menganggap femininitas dan posisi perempuan sebagai "liyan" bukanlah sesuatu yang merugikan. Justru dengan posisi tersebut, mereka dapat mengamati dengan kacamata yang lebih luas tentang maskulinitas dan femininitas, nilai-nilai, dan praktik-praktik yang dikonstruksi oleh masyarakat patriarki.
Dengan pengamatan yang mendalam dan pemikiran yang kritis, mereka dapat mengetahui efek-efek dari maskulinitas bagi laki-laki dan femininitas bagi perempuan.
Salah satu contohnya ialah dekonstruksi femininitas yang dilakukan oleh Helene Cixous. Cixous mengajak perempuan untuk menulis hal yang selama ini disembunyikan, dipinggirkan, dan dilarang. Ketika menulis, sebenarnya perempuan berada pada posisi yang lebih diuntungkan daripada laki-laki karena laki-laki mempunyai beban maskulin (Cixous, 2008: 53).Â