Bagaimanapun cakapnya seseorang, dia tidak akan dapat menarik garis batas yang tegas antara tugas dan kekuasaan pemerintah pusat dengan tugas serta kekuasaan pemerintah daerah
(Wihelm von Humbold)
Â
Kebijakan desentralisasi merupakan kebijakan yang menyerahkan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, serta memberikan kesempatan bagi daerah untuk lebih mandiri dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Di Indonesia, desentralisasi telah menjadi bagian penting dari reformasi politik dan administrasi sejak awal tahun 2000-an.
Perkembangan otonomi daerah selalu berkaitan dan atau didahului oleh implementasi desentralisasi. Kebijakan desentralisasi sering dianggap sebagai alternatif untuk mencegah sentralisme birokrasi dan dalam keadaan yang bersamaan bisa mencapai efektivitas penyelenggaraan pemerintahan serta menumbuhkan demokrasi di/ dari bawah. Dengan kata lain tidak akan ada kebijakan dan program pemerintah pusat yang akan mencapai sukses apabila tidak ada political will untuk melakukan desentralisasi.
Lembaga yang terdesentralisasi memiliki sejumlah keunggulan, yaitu: Pertama, lebih fleksibel karena dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah. Kedua, dalam pelaksanaan jauh lebih efektif. Ketiga, lebih sering menumbukan inovasi, dan Keempat, menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen, dan lebih besar produktivitasnya. Menurut pengalaman, dalam pelaksanaan bidang-bidang tugas tertentu, sistem sentralisasi memang tidak dapat menjamin kesesuaian kebijakan-kebijakan pemerintah dengan keadaan khusus di daerah-daerah.
Karena keputusan dibuat di tingkat bawah, maka desentralisasi dianggap lebih fleksibel daripada sentralisasi. Keputusan yang boleh dibuat di tingkat pelaksanaan (bawah), menjadikan pembuat keputusan bisa melakukan penghitungan sendiri, tanpa harus menunggu persetujuan atasan. Hal ini sering menghasilkan penghitungan yang lebih tepat dan menghasilkan pemecahan masalah lebih spesifik dan karena itu efektif.
Sebagai konsekuensi pelaksanaan desentralisasi adalah pemberian otonomi daerah yang merupakan amanat konstitusional yang selama ini terhambat, kalau tidak dikukuhi oleh pemerintah pusat. Sebagai respon terhadap krisis penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis, reformasi politik pasca Soeharto menempatkan isu otonomi daerah yang luas sebagai salah satu pilar utama. Pemerintah pusat tidak kuasa lagi mengukuhinya. Pemberian otonomi yang luas kepada pemerintah daerah justru menjadi kesempatan untuk berbagi beban dalam mengatasi krisis ekonomi yang telah melilit bangsa ini selama beberapa tahun terakhir ini.
Format desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah yang luas diyakini dapat mengakomodasi empat hal paling sensitif dalam dunia politik, yakni sharing of power, sharing of revenue, empowering lokalitas serta pengakuan dan penghormatan terhadap identitas kedaerahan. Namun, hal itu tidak cukup untuk menyembunyikan bahwa persoalan ini sungguh sangat kompleks. Tak ada persoalan pemerintahan di Indonesia yang implementasinya memiliki intensitas kesulitan setinggi desentralisasi politik dan otonomi daerah. Tak ada yang seperti makan buah simalakama bagi rakyat, sebagaimana desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Dengan kekuasaan terpusat di Jakarta, pemerintah dan daerah tak punya ruang gerak karena semua serba ditentukan dari atas. Sebaliknya, dengan kekuasaan disebarkan kepada daerah-daerah secara mendadak, pemerintah daerah kebanjiran kekuasaan namun tetap saja rakyat daerah tak mempunyai keleluasaan berarti---malah di banyak kasus, rakyat semakin didekatkan pada penindasnya akibat 'negara' di tingkat lokal yang menguat tiba-tiba. Juga dapat dikatakan, tak ada yang disikapi banyak orang sesinis otonomi daerah. Sebagian orang menyebut-nyebut desentralisasi dan otonomi daerah sebagai desentralisasi KKN karena memang kenyataannya ia turut memindahkan lokus partikularisme dari Jakarta ke daerah-daerah.
Konsekuensi dari kondisi ini adalah kompleksitas persoalan yang luar biasa dalam spektrum yang sangat luas dalam kerangka hubungan pusat dan daerah di Indonesia. Sebagian merupakan persoalan-persoalan lama yang belum tuntas, dan sebagian yang lain merupakan persoalan-persoalan yang relatif baru seperti: Â persoalan hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hubungan keuangan pusat dan daerah, persoalan 'desentralisasi semu' akibat logika kepartaian yang masih sangat sentralistis, penataan politik lokal, penguatan 'daerahisme', hubungan antar daerah, hubungan eksekutif dan legislatif daerah, hubungan negara dengan masyarakat pada tingkat lokal, penataan institusi dan mekanisme lokal.