“Demokrasi bukanlah bentuk pemerintahan yang mudah, karena tidak pernah final; itu adalah organisme yang hidup dan berubah, dengan pergeseran dan penyesuaian keseimbangan yang terus-menerus antara kebebasan individu dan tatanan umum”
—Ilka Chase
“Pengalaman demokrasi seperti pengalaman hidup itu sendiri—selalu berubah, tak terbatas dalam keragamannya, terkadang bergolak dan semakin berharga karena telah diuji dalam kesulitan”
—Jimmy Carter
Budaya demokrasi seperti yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat desa di Bali pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip demokrasi modern, khususnya demokrasi empirik/ prosedural. Parameter dari budaya demokrasi tersebut meliputi: adanya rotasi kekuasaan, keterbukaan sistem pengerekrutan pimpinan tradisional, keteraturan pergantian kedudukan pimpinan, penghargaan atas hak-hak krama, toleransi dalam perbedaan pendapat, dan akuntabilitas pemegang kekuasaan. Lalu, tidakkah bisa diserap sebagian nilai-nilai kearifan lokal tersebut untuk praktik demokrasi modern saat ini ?
Praktik kehidupan berdemokrasi seperti yang ditunjukkan oleh para politisi dan pejabat publik masih identik dengan wilayah pragmatisme dan oportunisme. Hal ini terkait banyaknya kasus-kasus penyelewenangan kewenangan publik, direduksi menjadi kepentingan sendiri, atau partai politik, seperti tampak dalam berbagai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang dipraktikkan di negeri ini.
Cara berdemokrasi seperti itu dapat menimbulkan sejumlah persoalan yang kompleks. Oleh karenanya, sangat dibutuhkan cara-cara bijak untuk mengorganisasikan pemerintahan dan pengalaman praktis mengelola kepentingan publik sesuai tempat, waktu dan kondisi masyarakat. Cara-cara bijak yang dimaksud biasanya ada dalam nilai-nilai kearifan lokal dalam budaya demokrasi masyarakat setempat, yang merupakan keseluruhan pengalaman sosial budaya yang membentuk pola ciri kehidupan demokrasi masyarakat. Sebagian parameter yang menandakan budaya demokrasi tetap hidup dan berkembang dalam tradisi masyarakat adalah adanya rotasi kekuasaan, keterbukaan sistem pengerekrutan pimpinan tradisional, keteraturan pergantian kedudukan pimpinan, penghargaan atas hak-hak krama, toleransi dalam perbedaan pendapat, dan akuntabilitas pemegang kekuasaan.
Budaya demokrasi dengan beberapa parameternya tersebut juga masih tetap hidup dan dipraktikkan dalam kehidupan krama desa pegunungan (Bali Aga) maupun dataran (Apanage) di Bali. Semuanya itu memiliki arti penting bagi demokratisasi dan desentralisasi pada aras lokal yang sedang dikembangkan saat ini, yang menuju pada arah perubahan dari sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik.
Cermin Budaya Demokrasi
Pertama, krama desa dataran sudah lama mengenal sistem pemilihan secara langsung yang diterapkan setiap pergantian jabatan prajuru di desa dataran. Mereka biasanya dipilih dari, oleh dan untuk desa adat melalui paruman/ sangkepan krama yang secara khusus diadakan untuk itu. Pemilihan prajuru bisanya berjalan secara demokratis sesuai aturan yang tertuang dalam awig-awig desa. Sementara itu, krama desa pegunungan lebih memercayakan kepada mereka yang lebih senior dan berpengalaman dalam memangku jabatan prajuru desa denga sistem bergilir. Budaya demokrasi ini menjadikan krama desa di Bali tidak canggung dalam sistem pemilihan umum langsung nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden, maupun pemilihan umum langsung untuk memilih gubernur dan bupati.