Mohon tunggu...
PPI TIONGKOK
PPI TIONGKOK Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membaca Peluang dari Kompetisi "Senjata" Perang Dagang China-AS

3 Oktober 2018   11:33 Diperbarui: 3 Oktober 2018   12:11 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kebangkitan China---yang terlihat dari sejumlah indikator seperti: meningkatnya GDP, ekspansi pasar internasional, meningkatnya konsumsi energi, meluasnya proyek infrastruktur serta banyak penanda lain---sangat lazim dipahami sebagai ancaman bagi dominasi global AS, sehingga serangkaian kebijakan telah dilakukan paman sam untuk membendung si panda yang semakin "gemuk." Tunjuk saja: pivot to Asia (2011), diakhirinya embargo penjualan senjata AS ke Vietnam (2016), meningkatnya anggaran militer luar negeri AS di Asia Pasifik hingga kebijakan proteksi (2018) yang memicu perang dagang. Tulisan ini mengeksplorasi peluang yang terbuka bagi Indonesia dalam konteks kompetisi tersebut khususnya perlombaan senjata dan perang dagang antara giant powers. 

George Modelski (1987) dengan sangat baik menarasikan bagaimana proses pergantian 100 tahunan dari satu super power ke super power yang lain yang selalu diselingi dengan perang global dalam Magnum Opus nya Long Cycles in World Politics. Secara sederhana proses tersebut dapat digambarkan bahwa super power selalu melahirkan para penantang (challengers) dari Negara dengan middle power yang selalu berjuang untuk mengambil posisi super power. Di sisi lain super power bertahan hingga akhirnya runtuh dan terganti oleh super power baru. Celakanya rekaman sejarah menunjukkan bahwa dalam proses pergeseran tersebut selalu diselingi oleh perang besar. Tunjuk saja pergantian dari super power Portugal ke Netherland (+-1600), dari Netherland ke Britain I (+-1700) kemudian ke Britain II (+-1800), lalu ke AS (1914).   

Dari sudut pandang Modelski, maka kebangkitan China meneruskan Long Cycles yakni melahirkan perlawanan kepada AS, namun demikian tidak sedikit para sarjana yang menentang Modelski, dengan berargumen bahwa China bangkit secara damai, sebut saja Zhang, Y. (2016), Kai (2015) hingga Boswell, T. (1995). Sejumlah fakta kebangkitan China seperti kebijakan inisiatif Belt and Road (2013), kebijakan Luar Negeri yang berorientasi harmonisasi hubungan, serta serangkaian kebijakan investasi asing yang berada dalam kerangka membangun stabilitas internasional sebagai landasan kebijakan luar negeri ekonomi negeri tirai bambu sering ditunjuk sebagai legitimasi argument itu. Terlepas dari perdebatan tersebut, fakta kompetisi memang sulit diingkari sebagaimana terlihat dari perlombaan senjata di Laut China Selatan (LCS) dan perang dagang. Dipercaya, terutama oleh pendukung Long Cycles, perang dagang dan perlombaan senjata merupakan pintu masuk bagi krisis global yang lebih dalam. Argumentasi tulisan ini melawan asumsi tersebut sejumlah peluang menarik justeru muncul dari kompetisi kedua great powers.

Perlombaan senjata versus kemakmuran ASEAN

Sistem politik internasional bersifat anarki yakni tidak ada kekuatan apapun di atas masyarakat yang berupa Negara-negara (bukan hierarki yang bertingkat, terdapat kekuatan di atas masyarakat, seperti sistem politik di dalam sebuah negara). Karena anarkis, maka dalam sistem politik internasional Negara-negara saling mencurigai. Bila ada Negara yang meningkatkan kekuatan militer, maka dipahami sebagi ancaman oleh Negara lain, sehingga Negara kedua ini meningkatkan kekuatan militer juga, baik dengan meningkatkan anggaran militernya ataupun beraliansi dengan Negara ke tiga. Menariknya respon tersebut dipahami oleh Negara pertama juga sebagai ancaman, sehingga Negara pertama pun merespon secara serupa. Siklus tersebut oleh para ilmuan disebut perlombaan senjata atau arms race (Deutsch, K. W. and Singer, J. David, 1964: 391). Kedua perang dunia di paroh pertama abad ke 20, dipercaya terkondisikan oleh perlombaan senjata.

Baru-baru ini, perlombaan senjata juga terjadi antara China dan AS di LCS yang nampak dari sejumlah indikasi---seperti, dibukanya fasilitas militer China di Kepulauan Spartly yang dipahami oleh AS sebagai ancaman di wilayah pengaruhnya; mencairnya hubungan AS dengan Vietnam, meningkatnya anggaran militer AS di Asia Pasifik, meningkatnya anggaran militer Vietnam (sebagai mitra baru AS) hingga 400% sejak 2005 (sebagaimana dikutip oleh Peter Pham [2017] dari SIPRI), meningkatnya anggran militer China, serta perang pernyataan di antara para pejabat strategis terkait dengan isu LCS---sejatinya merupakan ekspresi dari balance of power. Dalam konteks globalisasi informasi di mana komunikasi semakin mudah dan murah maka perlombaan senjata tidak mengarah pada perang besar (sebagaimana asumsi Long Cycles) namun membelokannya pada terciptanya balance of power (Pramono, 2018), yakni sebuah situasi politik internasional di mana terdapat sedikitnya dua kekuatan besar (great powers) yang saling berupaya untuk meluaskan pengaruhnya dalam berbagai bidang. Setting inilah yang mendorong terciptanya equilibrium (keseimbangan) yang menopang stabilitas politik internasional (Hans J. Morgenthau, 2004: 185; Kenneth K. Waltz, 1979: 117). Menariknya lagi stabilitas politik memberikan jaminan bagi pertumbuhan ekonomi (Alesina et all, 1996; Abeyasinghe, 2014, Younis; 2008; Aisen, 2011). Sejumlah fakta mengejutkan di tengah perlombaan senjata di LCS, diantaranya: pertumbuhan GDP Asteng yang naik hingga 63.2% dari US$ 2,369 di 2007 menjadi US$ 3,867 pada 2015. Kawasan ini juga merupakan penerima FDI terbesar ke 4, setelah AS (21.6%), Hong Kong (9.9%) dan China (7.7%). Perdagangan terbesar ke 4 setelah China (13.8%), AS (13.6%) and Jerman (8.0%) dengan angka perdagangan US$ 2.3 triliun, atau senilai 7.6% dari perdagangan global. Di sisi lain, setidaknya sejak perang dingin berakhir GDP Asteng selalu di atas rata-rata dunia, kecuali pada saat krisis moniter 1997.

Ringkasnya, apa yang dikhawatirkan dari perlombaan senjata di LCS antara kedua great powers tersebut tidak terjadi, kemudahan komunikasi membelokan perlombaan senjata menjadi balance of powers. Alih-alih perang besar seperti yang dikhawatirkan penganut Long Cycles, kemakmuran di Asteng justru terjadi sebagai akibat dari stabilitas politik produk balance of power setelah kebangkitan China. Penting dicatat Indonesia sebagai Negara terbesar (secara populasi, geografi dan peran kepemimpinan) di Asteng tidak dapat dipungkiri menjadi Negara yang sangat diuntungkan. Posisi sentralnya membuat Indonesia berpotensi memainkan peran penyeimbang bagi balance of power antara kedua great powers, terutama di kawasan Asteng. Sebagaimana peran penyeimbang pernah dilakukan Sukarno di antara dinamika sengit era perang dingin dengan mengkoordinasikan gerakan non-blok, maka Indonesia hari ini di tengah kompetisi tajam AS-China juga sangat diuntungkan, terutama dalam peran kepemimpinan di kawasan, bargaining position dengan kedua great powers, sasaran perlombaan investasi dan lain sebagianya.

Rantai nilai dari Perang dagang 

Bila di ranah keamanan terjadi perlombaan senjata, maka di ranah ekonomi terjadi perang dagang. Kendati upaya saling membalas proteksi dari pihak lawan telah dilakukan---baik oleh AS maupun China dalam beberapa bulan terakhir ini sehingga mengakibatkan menumpuknya komoditas kedua Negara besar tersebut yang berakibat pada tumpahnya komoditas murah ke pasar internasional serta implikasi lanjutan rusaknya pasar global---namun sejatinya terdapat sela-sela yang muncul dari dinamika perang dagang yang bisa dimanfaatkan oleh Negara lain termasuk Indonesia. Tidak sedikit konsumen barang-barang AS di China yang mengalami kekurangan pasokan, sebagaimana pula sebaliknya banyak konsumen China di AS yang mengalami hal serupa. Celah inilah yang bisa dimanfaatkan oleh para eksportir di Indonesia (tentu dengan bantuan diplomasi dagang Pemerintah) untuk memenuhi kebutuhan pasokan di kedua Negara akibat perang dagang. Dengan melayani kebutuhan konsumen luar negeri kedua Negara itu maka produksi dan aktivitas ekonomi lain dapat dilakukan di Indonesia, sehingga ratai nilai (value chain) tumbuh justeru sebagai berkah dari perang dagang.     

Di sisi lain, penting dilakukan upaya menejemen pasar untuk mengelola komoditas tumpahan yang berpotensi merusak. Barang-barang China yang tidak bisa masuk ke AS atau sebaliknya barang AS yang tidak bisa masuk ke China karena upaya saling proteksi kedua belah pihak tumpah dan membanjiri pasar internasional. Komoditas tumpahan tersebut dijual dengan harga yang relatif murah agar mudah diserap oleh pasar sehingga berpotensi merusak pasar. Situasi ini bila dibiarkan berakibat mengganggu perekonomian global. Indonesia sebagai pasar terbesar keempat di dunia dengan penduduk lebih dari 250 juta jiwa menjadi sasaran perioritas tumpahan komoditas tersebut. Sehingga langkah antisipatif penting dilakukan. Salah satu yang bisa dilakukan barangkali adalah mengambil peluang dari komoditas tumpahan. Peluang itu bisa dilakukan misalnya dengan menjadi bagian dari rantai pasokan komoditas itu (bukan sebagai konsumen namun sebagai middleman), sehingga alih-alih membanjiri pasar Indonesia dan menciptakan krisis domestik, kelihaian dalam manajemen tersebut dapat menciptakan rantai nilai yang mendorong perekonomian Indonesia. Tentu perlu dilakukan reset mendalam untuk memetakan potensi pasar luar negeri mana yang dapat menyerap barang tumpahan perang dagang, misalnya Eropa, Asia Tengah, Timur Tengah, Austalia atau bahkan Afrika. Memainkan peran sebagai middleman, dapat juga mendorong rantai nilai, tentu strategi ini butuh panduan pemerintah melalui diplomasi dagang.  

Ringkasnya, Indonesia dituntut untuk smart memainkan peran kunci dalam menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan. Politik Bebas Aktif perlu didefinisikan ulang berbasis konteks kekinian. Dengan berpegang teguh pada doktrin politik luar negeri yang dirumuskan Pendiri Bangsa maka Indonesia menjadi sangat diperhitungkan dalam perhelatan politik internasional. Sebaliknya terseretnya Indonesia dalam kepentingan salah satu kutub dalam sistem politik internasional hanya memposisikan Indonesia sebagai Negara pinggiran yang difungsikan sebagai penopang kepentingan Negara lain. Wallahu'alam.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun