Mohon tunggu...
Steven Bandong
Steven Bandong Mohon Tunggu... Ilmuwan - Engineering Physics-Indonesia-Christianity

a researcher in AI-CA Laboratory ITB

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Garam

24 September 2019   08:00 Diperbarui: 24 September 2019   08:09 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Kamu adalah garam dunia" (Matius 5:10) begitulah kata Isa Almasih di suatu bukit di Galilea kepada murid-muridNya. Namun apakah yang Sang Guru inginkan dari kita di dalam frasa ini? Kita harus kembali kepada zaman Yesus untuk memahaminya secara akurat.

Garam mempunyai tempat yang sangat penting dalam masyarakat primitif yang sederhana dari orang Israel dahulu kala. Ayub memberi tahu bahwa garam sudah dipakai dari zaman purba untuk menyedapkan makanan (Ayub. 6:6). Manusia purba mempersembahkan kepada Tuhan makanan yang dianggapnya lezat, karena itu garam juga turut dipersembahkan (Yehezkiel. 43:24). Pada zaman Alkitab, garam telah dihubungkan dengan kesehatan, kesediaan menerima tamu, kemurnian, dan sifat tahan lama. Yehezkiel menceritakan bahwa pada zaman kuno orang Israel menggosok garam pada bayi-bayi yang baru lahir (Yehezkiel. 16:4).

Upacara-upacara agama di kemudian hari menekankan sifat garam yang membersihkan. Akhirnya garam mulai melambangkan kewajiban yang paling suci dan paling mengikat. Tuhan berkata tentang perjanjian-Nya dengan orang Israel, "Itulah suatu perjanjian garam untuk selama-lamanya" (Bilangan. 18:19). Kedua Tawarikh menceritakan bahwa "Tuhan Allah Israel telah memberikan kuasa kerajaan atas Israel kepada Daud dan anak-anaknya untuk selama-lamanya dengan suatu Perjanjian garam" (II Tawarikh. 13:5). Isa menyatakan kepada para murid-Nya bahwa mereka adalah "garam dunia" (Matius. 5:13). Paulus menghubungkan garam dengan hikmat, "Hendaklah senantiasa perkataanmu itu berkat, diasinkan dengan garam" (Kolose. 4:6).

Setidaknya ada 5 peran garam yang ada saat itu yaitu penyedap, memurnikan, mengawetkan, membersihkan dan kesucian. Penyedap dan pengawet memberikan rasa yang indah dan tahan lama. Sekalipun demikian tidak mengendorkan kehendak untuk membersihkan, memurnikan  dan mempertahankan kesucian.

Membawa konsep ini kedalam praktis tentu adalah hal yang sulit bagi setiap orang. Ada yang menjadi seorang yang lemah lembut dan penuh kasih namun kehilangan ketegasannya terhadap dosa. Namun sebaliknya ada juga yang penuh semangat untuk menegakkan apa yang benar namun kehilangan kepedulian dan kasih untuk sesama. Isa menghendaki kita sebagai garam yang utuh dan berfungsi penuh.

Namun tidak perlu membingungkan contoh yang terlalu sulit karena Guru kita telah mendemonstrasikannya. Sebagai penyedap dan pegawet, Ia bersahabat dan makan dengan orang berdosa, berbelaskasih dan prihatin kepada kesedihan orang lain, mencukupkan mereka yang kekurangan, mengajar dengan kasih kepada Nikodemus si farisi dan banyak lagi. Namun Ia sangat tegas  menolak dosa, Ia mengamuk melihat kebobrokan di bait suci, sangat tajam mengkritik ahli-ahli agama dan mati di kayu salib membuktikan ia tidak bisa mengkompromikan dosa. Kombinasi yang kompleks namun begitu nyata senyata matahari terik,  Isa begitu mulia dan indah. Oh kiranya kita bisa seperti itu.

Namun di tengah harapan untuk menjadi garam yang baik bagi dunia, terselip ancaman. "Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang." (Matius 5:10). Oh kiranya kita terus berusaha dengan rajin untuk menggarami dunia. Kiranya Tuhan menolong kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun