Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Secercah Harapan dalam Ratapan

20 Agustus 2018   11:25 Diperbarui: 20 Agustus 2018   11:23 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya ingin memulai artikel ini dengan sebuah pertanyaan. Dalam rentang 1-100, berapakah nilai yang terpikir di benak kita seandainya kita ingin menilai kualitas tingkat kepuasan kita dalam kehidupan ini? Jelas sekali bahwa memang ada begitu banyak persoalan yang terjadi di dalam hidup kita. Mungkin kita telah kehilangan orang yang sangat kita kasihi. Mungkin kita sedang melewati masa-masa kekelaman. Mungkin kita tak kunjung mendapati kehidupan yang lebih baik dan terus cemas akan masa yang akan datang. Satu hal yang pasti: bahwa Tuhan tidak pernah melepaskan tangan-Nya atas kita. Tuhan bisa dijadikan tempat untuk berharap. Untuk kita yang bahkan tidak berani menapaki hidup ini dengan sukacita dan pengharapan, untuk kita yang takut kembali dikecewakan, untuk kita yang takut mengalami kegagalan, kini kita akan mencoba melihat harapan dari sebuah ratapan (3:20-24).

Mungkin kita sudah sering membaca bagian ini dan bahkan mungkin sudah menghafalnya di luar kepala. Ratapan 3 juga merupakan salah satu teks terindah bagi saya. Saya akan mencoba membahas teks ini melalui tiga pembagian utama. Pertama, saya akan menjelaskan latar belakang historis dari Kitab Ratapan, terutama dari pasal yang ke-3. Kedua, kita akan melihat perlunya cara pandang yang benar ketika kita menghadapi sebuah persoalan, yang akan menentukan kualitas hidup kita. Ketiga, saya akan menjelaskan cara pandang seperti apa yang seharusnya kita miliki. Kiranya semuanya ini menolong kita untuk selalu memiliki harapan di dalam Tuhan.

Latar belakang historis

Mari kita memulai dengan membahas latar belakang historis. Kalau kita membaca teks Ibrani di dalam bagian ini, maka kita akan tahu bahwa bagian ini adalah salah satu puisi yang terindah di dalam Alkitab. Seluruh bagian ini berbentuk akrostik. Artinya, setiap ayat dimulai dengan abjad Ibrani yang urut. Satu huruf menempati tiga ayat. Keindahan struktur ini juga dibalut dengan kosa kata dan ungkapan yang puitis dan menawan. Ungkapan ide yang digunakan adalah ungkapan yang begitu menyentuh. Ada begitu banyak permainan bunyi yang indah dalam Ratapan 3.

Sayangnya, keindahan sastra di atas tidak diiringi dengan keindahan nasib penulisnya (Yeremia) maupun bangsa Yehuda. Di balik keindahan itu, ada cerita yang sangat menyedihkan. Ada kisah yang suram di balik puisi yang begitu indah. Puisi ini ditulis karena ada sebuah peristiwa yang luar biasa. Puisi yang begitu indah ini justru ditulis di tengah keterpurukan Yeremia dan bangsa Yehuda. Puisi ini muncul sebagai respons terhadap pembuangan bangsa Yehuda ke Babel. Mereka akan tetap ada di Babel selama 70 tahun.

Situasi ini jelas sangat berat bagi Yeremia secara pribadi dan bagi Yehuda secara umum. Secara pribadi situasi ini sangat berat bagi Yeremia (3:1-19). Bertahun-tahun ia memberitakan kebenaran dan peringatan ilahi, tetapi tidak ada respons positif dari bangsa Yehuda. Ia melayani dengan setia. Susah payah dia jalani. Mereka bahkan menentang, mempermalukan, dan menganiaya dirinya. Pada akhirnya mereka benar-benar dihukum oleh Tuhan. Yeremia mungkin merasa semua pelayanannya tidak ada hasilnya sama sekali. Ada begitu banyak suasana pelayanan yang tidak mengenakkan yang dialami oleh Yeremia. Sampai pada akhirnya apa yang Yeremia sampaikan sungguh-sungguh tidak dilakukan oleh bangsa Yehuda. Dalam kacamata manusia, mungkin kita bisa mengatakan bahwa pelayanan Yeremia adalah sebuah kegagalan. Di mata Tuhan memang tidak ada yang gagal. Semua terjadi sesuai dengan rencana Tuhan. Bagaimnapaun, saya mau mengajak kita membayangkan betapa kecewanya Yeremia terhadap bangsanya sendiri.

Kalau kita melayani dengan susah payah tetapi kemudian ada hasilnya, mungkin kita bisa berkata bahwa itu sepadan. Kalau kita melayani tidak dengan susah payah dan tidak ada hasilnya, maka itu wajar. Namun kalau kita melayani dengan sungguh-sungguh dan sudah berkorban besar hanya untuk mendapati hasil yang nihil, maka itu pasti menjadi situasi yang sungguh tidak mengenakkan. Secara pribadi, ini tidak mudah bagi Yeremia.

Bagi bangsa Yehuda secara umum, situasi ini jelas begitu menekan dan rumit. Orang-orang Yehuda yang masih tersisa di tanah perjanjian menghadapi kelaparan yang hebat. Entah berapa ribu orang yang sudah mati karena peperangan dan kelaparan. Mereka kehilangan kota Yerusalem, tanah perjanjian, dan Bait Allah di dalamnya (1:1, 4, 6, 10; 2:4-5, 13). Sejak Daud memindahkan ibukota kerajaan ke Yerusalem, kota itu menjadi kota yang begitu terkenal. Namun pada saat Yeremia menulis Kitab Ratapan, kota ini digambarkan sudah porak-poranda dan hanya tersisa puing-puing kehancuran. Kota yang dahulu berjaya dan tersohor ternyata sudah menjadi luluh lantah oleh tentara-tentara Babel. Kota yang paling dibanggakan sudah tidak ada lagi.

Salomo membangun Bait Allah dengan emas yang terbaik, perak yang terbaik, dan kayu yang terbaik. Semua bahan yang terbaik ini dikelola oleh ahli-ahli yang terbaik. Ketika bahan-bahan yang terbaik berjumpa dengan ahli yang terbaik, maka pasti akan menghasilkan sebuah mahakarya yang terbaik. Bait Allah pada zaman Salomo adalah salah satu bangunan yang menakjubkan. Begitu kokoh, begitu mewah, begitu luar biasa. Sedihnya, kini bangunan itu sudah dihancurkan oleh tentara-tentara Babel. Apa yang mereka pandang luar biasa, apa yang menurut mereka sangat membanggakan, kini telah hilang.

Bukan hanya mereka kehilangan Kota Yerusalem dan Bait Allah, tetapi mereka juga kehilangan tanah perjanjian. Tanah ini diperoleh dengan begitu susah payah. Tuhan membebaskan mereka dari Mesir. Mereka mengalami perjalanan puluhan tahun yang penuh penderitaan di padang gurun untuk bisa memperoleh tanah perjanjian. Sampai pada akhirnya Tuhan membuang mereka dari tanah perjanjian ke negeri asing, yaitu di negara Babel.

Apa yang mereka banggakan dan apa yang mereka anggap paling penting telah hilang. Lenyap sudah semua kegemilangan dan nama besar Yerusalem. Sunyi senyap tanah perjanjian ditinggalkan oleh penduduknya. Musnah sudah keindahan, kemegahan, dan kekokohan bait Allah. Bagi bangsa Yehuda, kehilangan Yerusalem, tanah perjanjian, dan Bait Allah merupakan penderitaan yang tak terlukiskan. Dunia seakan-akan runtuh di depan mereka. Tiga hal itu bagi mereka merupakan identitas. Mereka sangat suka bergemar dan membanggakan diri atas ketiga hal tersebut. Namun sekarang semuanya sudah hilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun