Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Homoseksualitas: Mengatakan Kebenaran di dalam Kasih

6 Agustus 2018   23:49 Diperbarui: 7 Agustus 2018   21:03 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam salah satu nasihatnya kepada jemaat di Efesus, Paulus berkata: “dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus” (Efesus 4:15). Dalam terjemahan LAI:TB ini tidak terlalu jelas apakah ungkapan “di dalam kasih” lebih dilekatkan pada bagian sebelumnya (“dengan teguh berpegang kepada kebenaran”) atau sesudahnya (“bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus”). Apakah Paulus memaksudkan “dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih” atau “di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus”?

Berdasarkan kalimat Yunani yang digunakan terlihat dengan jelas bahwa “di dalam kasih” menerangkan “dengan teguh berpegang kepada kebenaran” (aletheuontes de en agape). Beberapa versi Inggris secara tepat memilih terjemahan ini (“speaking the truth in love,” KJV/RSV/NASB/NIV/ESV). Terjemahan ini lebih menunjukkan ketidakterpisahan antara kebenaran dan kasih.

Lebih lanjut, ungkapan “mengatakan kebenaran di dalam kasih” merupakan anak kalimat yang menjelaskan nasihat untuk bertumbuh ke arah Kristus (misalnya ESV “Rather, speaking the truth in love, we are to grow up in every way into him who is the head, into Christ”). Pertumbuhan rohani membutuhkan keseimbangan antara kebenaran dan kasih. Keduanya harus sama-sama melimpah dalam kehidupan orang-orang Kristen.

Mengatakan kebenaran di dalam kasih. Makna ungkapan ini begitu mudah ditangkap. Pertanyaannya, apakah ungkapan ini sudah menjadi prinsip kehidupan kita?

Kasih

Beberapa kali saya sengaja mengangkat topik tentang homoseksualitas sebagai bahan percakapan dengan orang-orang Kristen. Menariknya, salah satu respons awal yang berkali-kali saya temukan adalah “Aku jijik dengan orang-orang homoseksual”. Beberapa menyamakan - atau bahkan menganggap lebih rendah - pelaku homoseksual dengan binatang. Salah satu contoh adalah komentar Manny Pacquiao dalam sebuah wawancara dengan TV5, sebuah stasiun televisi Filipina, pada Februari 2016. Akibat dari komentar ini, ia harus kehilangan kontrak dengan produsen alat-alat olahraga dunia (NIKE). Beberapa waktu kemudian ia menyampaikan permintaan maaf atas kata-katanya yang kasar, seraya tetap menganggap homoseksualitas sebagai sebuah dosa. Beberapa gurauan yang sarkastik juga kerap kali mencuat dalam perbincangan seputar LGBT. Semua sikap ini dinamakan homofobia.

Seorang teman mengatakan bahwa ia pernah mengalami beberapa peristiwa yang menumbuhkan homofobia dalam dirinya. Ia pernah dikejar-kejar dua orang banci di tengah malam pada saat sedang tersesat di sebuah gang yang sepi. Pada waktu yang lain, ia pernah digoda dan dicolek oleh pasangan gay di sebuah lift di mall. Pengalaman-pengalaman ini membuatnya merasa jijik dan tidak nyaman berada di dekat orang-orang semacam mereka.

Sikap homofobik seperti ini tentu saja sangat disayangkan. Sebagian orang Kristen tanpa sadar telah memosisikan kaum LGBT sebagai musuh atau wabah masyarakat. Serangan telah dilancarkan secara membabi-buta, tanpa memedulikan apakah serangan itu mengenai konsep atau orangnya. Beberapa serangan bahkan hanya dilandaskan pada pandangan umum yang bersifat karikatur dan terlalu menyederhanakan (setereotip) LGBT.

Sikap gereja yang sangat berlebihan terhadap LGBT berpotensi turut memperburuk keadaan. Mereka yang bergumul dengan homoseksualitas menjadi tidak berani mengekspresikan diri secara terbuka dan meminta bimbingan rohani. Perasaan “terlalu berdosa” sering kali menghinggapi pikiran mereka. Tanpa dukungan dari komunitas, hasil dari pergumulan ini sudah dapat ditebak: kegagalan dan keputusasaan.

Semua diskusi yang penuh kasih dan hormat tentang homoseksualitas harus dimulai dengan kesadaran bahwa LGBT - sama seperti kita - adalah gambar Allah (Kejadian 1:26-27). Kesamaan harus dimajukan terlebih dahulu, bukan perbedaan ideologi dan perasaan. Dengan mengedepankan kesamaan hakikat sebagai gambar Allah, kita akan mampu melakukan diskusi dalam suasana yang penuh persahabatan, keterbukaan, dan kasih.

Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah fakta bahwa tidak semua pelaku homoseksual memberi pembenaran konseptual atas tindakannya. Demikian pula tidak semua orang yang secara konseptual mendukung LGBT benar-benar mempraktikkan pola hidup homoseksual. Dari perspektif Alkitab, mereka yang menyetujui (tanpa melakukan) maupun yang melakukan (tanpa menyetujui) suatu dosa adalah sama-sama bersalah (Rm. 1:32).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun