Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Rasionalitas Iman Kristen

22 Juli 2018   10:43 Diperbarui: 23 Agustus 2018   22:30 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kita mengetahui apa yang kita percaya. Namun dapatkah kita menjelaskannya kepada seseorang yang mengaku memiliki keraguan yang kuat tentang kebenaran kekristenan?”

Mereka yang menentang kekristenan akan bekerja keras untuk menutup pikiran dan mulut dari siapa saja yang percaya kepada Yesus. Mereka berusaha untuk membuat iman itu menjadi nampak naif dan tidak akademis. Kekristenan menemukan dasar kepercayaannya yang ditentang dan ditertawakan mulai dari universitas sekuler sampai ke media terkemuka.

Beberapa tahun yang lalu saya membaca sebuah novel (saya lupa siapa penulisnya dan apa judul bukunya) di mana terdapat sebuah dialog antara seorang rohaniwan dengan seorang ilmuwan. Sang ilmuwan berkata dengan meyakinkan, “Kamu berikan imanmu dan aku akan berikan penalaranku.” Pertukaran itu menegaskan asumsi yang meluas pada zaman kita sekarang, bahwa penalaran dan iman tidak cocok satu dengan yang lain dan saling berlawanan. Agama telah lenyap dari wilayah akademis tertentu (kecuali pada waktu krisis nasional) dan disimpan untuk dikeluarkan dalam wilayah yang didominasi oleh iman. Iman dipandang sebagai sesuatu yang subjektif. Bagi beberapa orang Kristen, iman hanya diletakkan di laci, setelah itu dikunci dan baru dibuka pada Minggu pagi. Hanya mereka yang membutuhkan penopang emosional yang membutuhkan iman. Agama adalah opium bagi masyarakat, dan pada umumnya agama adalah favorit bagi mereka yang tidak terpelajar. Agama adalah tongkat penyangga untuk menyangga orang-orang yang lumpuh secara psikologis, yaitu mereka yang tidak memiliki pandangan tentang dunia nyata yang ilmiah dan semakin canggih.

Berangkat dari hal ini, saya mulai mendedikasikan hidup saya untuk menjelaskan dasar kebenaran yang diklaim oleh kekristenan serta untuk memperlihatkan bahwa inti dari kekristenan adalah rasional. Sesuatu yang tidak masuk akal atau tidak rasional, tidak layak dijadikan sebagai kepercayaan atau komitmen pribadi.

Mempertahankan rasionalitas kekristenan adalah hal yang sama sekali berbeda dengan rasionalisme dalam bentuk apapun. Istilah rasionalisme datang dengan muatan yang banyak dan tidak berasal dari kekristenan ortodoksi. Problem rasionalisme bukanlah pada penalaran atau rasionalitas, tetapi terletak pada akhir katanya: yaitu “isme”.

Menjadi manusiawi tidak sama dengan memeluk humanisme. Menjadi feminin tidak sama dengan memeluk feminisme. Menjadi eksis tidak sama dengan memeluk eksistensialisme. Jadi, seseorang tidak perlu menjadi penganut rasionalisme untuk berpikir secara rasional. To be rational is fine, but the rationalist is totally wrong.

Banyak apologis setuju bahwa gereja telah menjadi curiga terhadap penalaran karena ia telah mengalami “pengkhianatan dari kaum intelektual.” Tembakan yang paling keras dari kritikisme untuk melawan kekristenan historis tidak ditembakkan dari luar gereja, melainkan telah ditembakkan secara bertubi-tubi dari dalam gereja.

Musuh-musuh kekristenan telah mengatakan dalam jangka waktu yang lama, secara terus-menerus, bahwa agama itu berdasarkan pada iman yang buta dan bukan berdasarkan penalaran, sehingga banyak dari antara jemaat yang telah memercayainya. Ini mendemonstrasikan rumusan bahwa kalau kita seringkali mengulangi suatu kebohongan, maka cukup banyak orang akan bisa mulai memercayainya.

Harapan saya adalah orang-orang akan mulai melihat bahwa pencarian secara rasional dan penelitian secara empiris berfungsi untuk mendukung kebenaran yang diklaim oleh kekristenan, bukan untuk merendahkannya. Kekristenan berdasarkan pada lebih dari sekadar penalaran manusia, tetapi juga tidak kurang dari penalaran manusia. Meskipun wahyu ilahi membawa kita melampaui batasan dari perhitungan rasional, tetapi kita tidak lantas tenggelam di bawah garis pemahaman rasional.

Eksistensi Allah dan otoritas Alkitab adalah dua hal yang penting dalam apologetika Kristen. Kedua hal ini memang bukan pertanyaan yang paling krusial dari semua yang ada; isu tentang Pribadi dan karya Kristus tentu saja lebih sering diajukan daripada pertanyaan tentang otoritas Alkitab. Namun dari sudut pandang apologetika, prioritas pembelaan Alkitab jelas sangat strategis sekali. Apabila otoritas ilahi dari Alkitab sudah dipertahankan, hal itu akan mengonfirmasi pengajaran tentang Pribadi dan karya Kristus.

Membela iman dengan kemampuan kita sebaik mungkin bukanlah merupakan hal yang berlebihan atau sia-sia secara intelektual. Hal ini adalah tugas yang diberikan pada setiap orang percaya untuk menyaksikan iman kita kepada dunia (1Pet. 3:15-16). Saya harap artikel-artikel saya ke depan (dan yang sudah pernah saya tulis) akan menolong pembaca untuk sampai pada tujuan itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun