Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kekristenan Pancatunggal

21 Juni 2018   19:18 Diperbarui: 26 Agustus 2018   04:25 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
CERAMAHMOTIVASI.COM

Dibesarkan dalam kondisi keluarga yang cukup dekat dengan garis kemiskinan, keprihatinan saya sejak dahulu adalah mengenai kesejahteraan sosial dalam masyarakat dan bagaimana kekristenan bisa memberi pengaruh yang signifikan di dalamnya. Dari sejak bersekolah di SMP Negeri 2 Depok, saya sudah menyuarakan dukungan untuk Jokowi dan Ahok. Kedua tokoh tersebut naik daun di masa remaja saya dan memengaruhi banyak sekali pemikiran saya dalam mengaitkan relasi antara gereja dan negara. Kenaifan saya dahulu membuat saya merendahkan orang-orang lain yang tidak mendukung siapa yang saya dukung. Bagi saya, hanya ada dua jenis manusia di Indonesia (kita atau mereka).

Situasi makin meruncing seiring dengan Pilkada DKI 2017 dengan segala hal yang berkaitan di dalamnya. Pukulan terberat datang ketika saya menghadapi fakta bahwa idola saya ternyata berbuat dua kesalahan fatal (penistaan agama dan perceraian). Saya terkejut dan mulai menyadari ada yang salah di dalam pemikiran saya selama ini. Saya telah menjadikan Ahok dan Jokowi sebagai sosok yang selalu benar dalam setiap hal yang dilakukannya dan setiap orang yang kontra terhadap kebijakan mereka adalah orang yang picik dan berpikiran sempit. Kesungguhan saya mengidolakan mereka berdua terlihat dari fakta bahwa saya sangat ingin bertemu mereka berdua dan betukar pikiran secara langsung. Saya juga membeli semua atribut yang berhubungan dengan mereka berdua. Lebih jauh, saya berjuang habis-habisan untuk mengikuti Konser Dua Jari sampai kelelahan begitu rupa.

Setelah melewati perenungan panjang selama bersekolah di SMA Negeri 1 Depok, saya memikirkan sebuah kesimpulan tentang apa yang terjadi dalam diri saya sebelumnya. Saya menyebutnya "kekristenan pancatunggal". Tritunggal adalah kepercayaan tradisional dalam kekristenan yang memiliki konsep memercayai Allah dalam satu hakikat (being) yang menyatakan diri dalam tiga pribadi (person). Namun yang terjadi adalah saya tidak menyembah Allah Tritunggal, melainkan Pancatunggal (one being in five persons). Dua Pribadi lainnya adalah Jokowi dan Ahok.

Dengan kata lain, saya telah memposisikan Jokowi dan Ahok sejajar (berbagi kemuliaan, kuasa, dan otoritas) dengan Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Sikap saya yang mendukung mereka sepenuhnya berujung malapetaka penyembahan berhala. Waktu saya lebih banyak dihabiskan untuk membela mereka daripada untuk memikirkan kebenaran yang hakiki tentang kekristenan. Uang saya lebih banyak dihabiskan untuk membeli buku-buku tentang mereka dibanding buku-buku kekristenan yang bermutu. Bahkan, saya sempat meragukan kasih dan kedaulatan Allah Tritunggal dalam hidup saya sementara saya memperlakukan dua Pribadi lainnya dengan sangat hormat, penuh kekaguman, dan menganggap mereka tanpa cacat cela secara sempurna.

Ini adalah sebuah dosa. Dosa ini mendukakan hati Tuhan. Dia adalah sebuah keberadaan adikodrati yang berpribadi, ada dengan sendirinya, tidak disebabkan oleh yang lain, tidak memiliki permulaan, telah ada dan selalu akan ada, suci secara sempurna, dan telah berinkarnasi menjadi manusia untuk menebus segala dosa yang saya perbuat dan menguduskan saya sampai selama-lamanya. Akhirnya saya memutuskan untuk bertobat. Saya bersyukur, saya bisa memiliki konsep yang benar sebelum saya memasuki dunia politik. Dan saya berterimakasih kepada Tuhan, karena telah membuat Ahok masuk penjara karena kesalahannya sendiri, dan karena telah membuat Jokowi semakin banyak dikritik akibat beberapa kebijakannya yang kontroversial, sehingga saya bisa menyadari bahwa mereka adalah manusia biasa sama seperti saya dalam hakikat dan natur sebagai pendosa. 

Kisah saya di atas menjadi pendahuluan bagi kritik saya selanjutnya yang menjadi inti dari artikel ini. Saya berharap kekuatan persuasi dari kritik saya akan bertambah karena saya sudah pernah mengalaminya. Sampai sekarang, banyak orang yang masih mengalami apa yang saya dulu alami. Di dalam lingkungan Kristen saya sendiri, banyak orang yang dengan naifnya mengalami kekristenan pancatunggal seperti yang saya sebut di atas. Memang ada sebagian lainnya yang berpikir rasional seperti saya sekarang. Namun, banyak orang Kristen yang terus-terusan mengidolakan Jokowi dan Ahok secara berlebihan. Mimbar-mimbar di gereja dan di persekutuan dipakai untuk mencoba memenangkan mereka berdua baik secara eksplisit maupun implisit. Khotbah-khotbah dari para pembicara pun terkesan sangat subjektif mendukung mereka berdua. Media sosial dipakai untuk memengaruhi orang Kristen yang "buta politik" agar mendukung Ahok karena seiman, dan untuk mendukung Jokowi serta melupakan kesalahan-kesalahan dalam kebijakannya. Inilah wajah kekristenan pancatunggal yang melanda banyak orang Kristen.

Ironisnya, bukan hanya mereka mendukung Ahok dan Jokowi secara subjektif, tetapi mereka juga sudah mulai membenci lawan-lawan politiknya. Bahkan, seorang pejabat tinggi yang bergelar Ph.D lulusan Amerika Serikat berbicara di sebuah seminar yang diikuti oleh siswa Kristen dan menyebut Anies Baswedan sebagai "gabener" atas hasil permainan kata dari "governor". Benar-benar sebuah cara yang tidak intelektual yang dihasilkan dari seorang intelektual yang mengklaim diri melayani kaum intelektual. Lebih jauh, media sosial sekarang berisi pertentangan keras antara dua kelompok yang saling membenci, dan orang Kristen terlibat di dalamnya. Kebencian semacam ini terjadi karena idola mereka tidak berhasil memenangkan Pilkada DKI. Ini adalah sebuah kecemburuan politik yang meremehkan kedaulatan Allah yang sempurna dari orang-orang yang mengaku memegang teologi Reformed dengan ciri khas kedaulatan Allah yang sempurna.

Karya cinta Allah yang terbesar bagi umat manusia di atas kayu salib - yang menjadi ciri khas sebuah persekutuan yang saya ikuti - seakan tidak cukup untuk menghentikan kebencian orang-orang Kristen terhadap lawan-lawan politik Jokowi dan Ahok. Disadari atau tidak, di luar komunitas Kristen kita tampak mengasihi musuh, tetapi di dalam kalangan Kristen kita menunjukkan kebencian kepada mereka. Kita terus-terusan menunjukkan keterpaksaan untuk tunduk kepada Gubernur DKI sementara kita terus mendalami Roma 13 sampai ke bahasa Yunani. Kita tidak menghormati Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, kita tidak menghargai Prabowo Subianto, kita membenci Amien Rais, bahkan kita tidak pernah mendoakan Rizieq Shihab. Lalu, apa bedanya kita dengan mereka? Mereka benci kita, kita benci mereka, kapan habisnya?

Bagaimana kita sebaiknya menyikapi pandangan ini? Apakah pandangan ini sesuai dengan ajaran Alkitab? Untuk memahami isu ini dengan utuh, kita perlu mengerti bahwa persentuhan antara gereja dan negara sudah berlangsung lama. Kompleksitas isu ini sudah mengundang berbagai perdebatan yang hangat dan panjang. Di dalam sejarah gereja, kita menemukan beragam sikap yang dilakukan oleh gereja terhadap negara. Ada yang menganggap bahwa gereja dan negara sama sekali terpisah, bahkan saling bermusuhan satu dengan yang lain dan tidak mungkin bisa disatukan. Di dalam masa reformasi gereja pada abad ke-16, kita menemukan ada golongan reformasi yang sangat esktrem - yang ditentang juga oleh John Calvin - dari aliran Anabaptis yang menganggap bahwa pemerintahan duniawi - apapun bentuknya - adalah permusuhan terhadap Allah. Mereka tidak menghargai otoritas dari pemerintah yang ada. Bahkan mereka cenderung melakukan kerusuhan di mana-mana.

Karena itu saya menganggap perlu untuk mengajak kita memikirkan ulang hubungan antara gereja dan negara. Kalau kita berpijak pada Roma 13, maka kita bisa mengatakan bahwa Allah - di dalam kedaulatan dan hikmat-Nya - telah mengatur dunia ini (hubungan antar manusia) melalui hukum-hukum, aturan-aturan, dan keputusan-keputusan politik yang diambil oleh para pemerintah duniawi. Dengan kata lain, Paulus sebetulnya tidak menentang pemerintah yang ada. Konsep Paulus berbeda dengan konsep orang Kristen yang tidak bisa menerima kekalahan Ahok di Pilkada DKI.

Ini merupakan kebenaran yang cukup mengagetkan. Karena pada saat Paulus mengatakan itu di Roma 13, pasti dia sedang memikirkan kekaisaran Romawi dengan segala macam carut-marut dan penyalahgunaan kekuasaan di dalamnya. Tetapi Paulus tidak segan-segan dan tanpa ragu mengatakan bahwa pemerintah adalah hamba-hamba Allah yang memang dipilih Allah untuk menghadirkan keteraturan di dalam masyarakat. Terlepas dari kepercayaan mereka kepada Allah dan kesadaran bahwa mereka dipilih oleh Allah, di dalam perspektif kedaulatan Allah yang mutlak Paulus mengatakan bahwa segala pemerintah adalah wakil-wakil Allah untuk menghadirkan ketertiban dan keteraturan di dalam masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun