Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Kitab Suci adalah Fiksi?

5 Mei 2018   01:24 Diperbarui: 28 Juni 2018   22:27 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu yang lalu Indonesia digegerkan dengan pernyataan Rocky Gerung dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC). Dalam kesempatan itu, mantan dosen Universitas Indonesia ini mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi. Ucapan ini sontak menjadi polemis nasional. Semua pihak angkat bicara. Dampak bola salju dari pernyataan ini sebenarnya sangat bisa dipahami. Indonesia merupakan negara religius. Ada beragam agama dan kitab suci di Indonesia. Apa yang diucapkan Rocky jelas merangsang reaksi dari banyak orang.

Di samping itu, Indonesia juga sedang berada dalam ketegangan politis terkait dengan pemilihan umum, baik ratusan Pilkada 2018 maupun Pilpres 2019. Apa saja bisa digoreng untuk kepentingan politis tertentu. Apalagi Rocky memang terkenal sebagai seorang filsuf yang sangat kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Reaksi berbeda ditujukan oleh banyak orang terhadap pandangan Rocky. Kepentingan di dalamnya pun sangat beragam. Beberapa bahkan menyerang pribadi Rocky, bukan esensi dari pernyataannya.

Artikel ini mencoba memberikan penjelasan yang sangat sederhana dan singkat serta dari sebuah perspektif yang netral. Tidak ada unsur politis sama sekali. Serangan secara pribadi pun tidak ada. Sebagai catatan tambahan: saya hanya mendekati persoalan ini dalam kaitan dengan Alkitab. Tidak ada kena-mengena dengan kitab suci lain. Apa yang ditulis di sini bahkan tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan pada kitab suci lain.

Hal pertama yang perlu dijernihkan terlebih dahulu adalah definisi. Sebuah istilah yang sama bisa saja dipahami secara berbeda. Siapa tahu Rocky menggunakan kata ini dengan pengertian yang berbeda dengan mereka yang mendengarkannya. Yang kedua adalah konteks. Sebuah istilah bisa memiliki arti yang berbeda dalam konteks yang berbeda pula. Konteks di sini merujuk pada konteks pada saat pembicaraan berlangsung maupun konteks budaya pendengar.

Sejauh yang bisa diketahui dari acara ILC pada saat momen kontroversi terjadi, Rocky tidak menyediakan definisi yang jelas tentang “fiksi”. Dia hanya menyoroti fungsi fiksi sebagai alat untuk menumbuhkan imajinasi banyak orang. Dia menyoal fungsi, banyak orang menyoal esensi (definisi).

Persoalan seperti ini sebenarnya sudah lama ada dalam dunia akademis. Sebagian teolog menyebut Alkitab sebagai mitos. Definisi dan aspek dari istilah ini dipahami secara berlainan. Ada yang mengaitkan “mitos” dengan aspek historisitas. Sebagian meyakini akurasi historis Alkitab, sedangkan yang lain menyangkalinya. Ada yang mengaitkan “mitos” dengan fungsi estetikanya, tanpa menggunjingkan apakah kisah di dalamnya berakar pada sejarah atau tidak. Perlu kehati-hatian dan ketepatan dalam mengupas persoalan-persoalan semacam ini.

Sekarang kita sampai pada inti pembahasan. Alkitab bukanlah fiksi atau mitos dari sisi akurasi informasi di dalamnya. Para penulis Alkitab menginformasikan bahwa mereka melakukan riset dan menggunakan sumber-sumber lain (Luk. 1:1-4). Mereka kadangkala memberitahukan sumber informasi yang mereka pakai (1 Raj. 11:41; 14:19, dst). Berkali-kali mereka menegaskan bahwa tulisan mereka merupakan laporan saksi mata (1 Yoh. 1:1-3). Bahkan secara terang-terangan mereka mengontraskan ajaran mereka dengan dongeng-dongeng (1 Tim. 1:4; 4:7; 2 Tim. 4:4).

Jika historisitas Alkitab dibandingkan dengan kitab-kitab kuno yang lain, nilai kita jauh lebih unggul. Sebagai contoh, akurasi Alkitab melampaui tulisan-tulisan Plutarch, seorang penulis sejarah Yunani-Romawi yang disegani (lihat buku Michael Licona, Why Are There Differences in the Gospels). Para penulis Alkitab menunjukkan  keseriusan  terhadap  sejarah;  mereka  menyediakan banyak informasi detail yang dapat diverifikasi, misalnya keterangan waktu, nama tempat, nama orang, dsb. Perkembangan arkeologis pun semakin berpihak pada historisitas Alkitab.

Walaupun demikian, Alkitab merupakan sebuah karya sastra (literatur) yang ditulis untuk keperluan tertentu yang bersifat teologis dan praktis. Tidak setiap detail peristiwa dituliskan (Yoh. 20:30-31; 21:25). Hal itu jelas mustahil untuk dilakukan, bahkan oleh siapa saja. Ada akumulasi data. Ada seleksi data. Ada interpretasi data. Ada redaksi dalam penulisan. Semua proses ini sangat lazim, apalagi dalam konteks penulisan sejarah kuno. Sejauh apa yang dituliskan tidak bertabrakan dengan kenyataan, penulis berhak meredaksi tulisan mereka sedemikian rupa  untuk mencapai efek teologis dan retoris yang diharapkan. Dalam kaitan dengan hal ini, fungsi Alkitab memang sama dengan fiksi maupun mitos. Persoalannya, tulisan-tulisan lain yang tidak tergolong fiksi atau mitos pun mempunyai kekuatan retoris yang sama. Jadi, kita lebih baik menegaskan bahwa Alkitab mengandung akurasi historisitas yang memadai. Bahkan lebih unggul dibandingkan kitab-kitab kuno yang lain. Alkitab bukan fiksi maupun mitos, walaupun salah satu efek retorisnya memang sama dengan yang biasa dicapai dalam fiksi atau mitos.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun