Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Eksposisi 1 Korintus 13:4-7 (Bagian 3)

1 Mei 2018   21:00 Diperbarui: 20 Juli 2018   23:03 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam artikel sebelumnya sudah disinggung bahwa daftar karakteristik kasih di 13:4-7 kemungkinan diperoleh Paulus dari sumber lain, namun sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keadaan jemaat Korintus. Berdasarkan hal ini, penafsiran detail terhadap tiap karakteristik harus memperhatikan persoalan apa yang sedang terjadi di jemaat Korintus.

Kasih itu tidak menyimpan kesalahan orang lain (ou logizetai to kakon)

Frasa “ou logizetai to kakon” diterjemahkan secara berlainan di berbagai versi. Ada yang menerjemahkan “tidak memikirkan yang jahat” (KJV), “tidak mencatat kesalahan-kesalahan” (NIV), “tidak menyimpan kepahitan” (ESV/RSV/NRSV), atau “tidak menyimpan kesalahan orang lain” (LAI:TB). Variasi terjemahan ini sangat bisa dipahami. Kata dasar “logizomai” mempunyai beragam arti: berpikir, menilai, meyakini, dsb.

Untuk mengetahui arti mana yang dimaksud, kita perlu memperhatikan konteks pemunculan kata “logizomai”. Jika dikaitkan dengan pelanggaran, kesalahan, atau kejahatan orang lain – seperti di 1 Korintus 13:5 - kata “logizomai” sebaiknya diterjemahkan “memperhitungkan”. Kata ini juga pernah muncul dalam konteks yang sama di tulisan Paulus yang lain (2Kor. 5:19; Rom. 4:3-9). Dalam dua teks ini, “logizomai” berarti “memperhitungkan”. Jadi, sama seperti Allah di dalam Kristus Yesus tidak memperhitungkan kesalahan dan pelanggaran kita, demikian pula kita berbuat hal yang sama kepada orang lain yang bersalah kepada kita. Bukankah setiap kali kita memohon ampun kepada Allah, maka Ia melupakan dosa kita dan membuangnya jauh-jauh (Mzm. 103:12; 130:3; Yes. 43:25)?

Paulus tidak hanya memberikan nasihat. Ia juga mempraktikkan karakteristik kasih ini. Tatkala beberapa jemaat Korintus berbuat salah kepada dia dan jemaat lain, dia memerintahkan untuk memberikan kasih dan pengampunan (2Kor 2:8-10).

Bagaimana kita bisa mengampuni kesalahan orang lain? Kunci untuk mengampuni orang lain adalah membandingkan kesalahan orang kepada kita dan dosa kita kepada Allah. Pada waktu Petrus menanyakan tentang batasan pengampunan (berapa kali pengampunan harus diberikan), Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tentang hutang 10 ribu talenta (sekitar 60 juta dinar) dan 300 dinar (Mat. 18:21-35). Kalau dosa kita kepada Allah sebesar 10 ribu talenta sudah diampuni, tidak ada alasan bagi kita untuk tetap memperhitungkan kesalahan orang lain kepada kita yang hanya sebesar 300 dinar. Setiap kesalahan orang lain adalah kesalahan baru dan pertama, karena yang lama sudah tidak kita perhitungkan.

Kasih itu tidak bersukacita karena ketidakadilan (ou chairei epi te adikia)

Karakteristik ini sangat berhubungan dengan poin sebelumnya. Pada saat kita terus memperhitungkan kesalahan orang lain, kita akan berusaha untuk membalas orang tersebut. Pembalasan seringkali berujung pada ketidakadilan. Pembalasan kita tidak jarang justru lebih kejam daripada kesalahan orang lain kepada kita. Karena itu Alkitab mengajarkan agar kita menyerahkan pembalasan kepada Allah yang adil (Rm. 12:19; Ibr. 10:30). Tuhan Yesus pun melakukan hal yang sama. 1 Petrus 2:23 berkata: “Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil”. Jangankan mengharapkan orang lain menerima sesuatu yang buruk (ketidakdilan), Tuhan Yesus bahkan tidak ingin keadilan (hukuman) Allah ditimpakan pada orang-orang yang menyalibkan Dia. Di atas kayu salib Ia berdoa: “Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34).

Karakteristik kasih semacam ini juga ditunjukkan oleh Paulus kepada jemaat Korintus. Walaupun sebagian jemaat menghakimi Paulus (4:1-5), ia tidak mau memberikan teguran yang mempermalukan mereka (4:14). Ia tetap memosisikan diri sebagai bapa rohani yang menginginkan hal-hal baik untuk anak-anaknya (4:15).

Berbeda dengan Paulus, jemaat Korintus gagal mendemonstrasikan karakteristik kasih sejati ini. Mereka berusaha menyeret sesama orang Kristen ke pengadilan sekuler (6:1-6). Salah satu pihak merasa dirugikan dan tidak bisa menerima hal itu (6:7). Ironisnya, mereka yang tidak mau diperlakukan secara tidak adil adalah orang yang sama yang melakukan pembalasan secara tidak adil kepada pihak lain (6:8).

Walaupun kita tidak membalas, belum tentu kita memiliki kasih. Kita mungkin tidak mau membalas – karena alasan-alasan tertentu – tetapi jika kita bergembira ketika melihat orang lain diperlakukan tidak adil (13:6), kita tetap tidak mempunyai kasih. Sebaliknya, kita harus membela dan bersimpati terhadap siapa pun yang menderita ketidakadilan. Bagaimanakah respons spontan kita pada saat mendengar hal-hal negatif yang menimpa musuh kita? Respons spontan itu seringkali menyingkapkan apa yang ada di dalam hati kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun