Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dealing with Doubt

15 Maret 2018   08:49 Diperbarui: 26 Agustus 2018   00:14 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi kita yang berada dalam sebuah gerakan kekristenan yang disebut Faith Movement, mungkin kebingungan langsung terbersit di benak kita ketika melihat judul ini. Mungkin kita menganggap topik ini tidak perlu dibicarakan sama sekali, karena di dalam kekristenan tidak ada ruang untuk keraguan. Iman mengatasi segala keraguan!

Orang-orang menghadapi dan memahami keraguan dengan cara yang berbeda. Beberapa orang menganggap keraguan sebagai musuh dari iman. Karena dianggap dalam konsep yang dikotomis semacam ini, maka setiap orang yang ragu pasti dikategorikan sebagai orang yang tidak beriman. Begitu pula sebaliknya, orang yang beriman berarti tidak pernah mengalami keraguan. Iman dan keraguan dipandang sebagai musuh bebuyutan.

Anggapan yang terlalu menyederhanakan kekristenan ini membuat seseorang pernah berkata dengan sinis kepada saya, "Keep calm and never doubt". Ironisnya, saya meragukan kebenaran dari kalimat tersebut. There is a doubt in my heart when she says "keep calm and never doubt".

Saya yakin semua orang - kalau mau secara jujur dan objektif merenungkannya - pasti pernah meragukan imannya. Bahkan bukan hanya pernah, tetapi banyak orang masih memiliki keraguan tentang kekristenan. Karena banyak orang di dalam Alkitab - yang dekat dengan Tuhan pun - tetap memiliki keraguan di dalam dirinya.

Kalau kita menganggap bahwa keraguan adalah hal yang negatif dan tidak memiliki tempat di dalam kekristenan, maka kita perlu membaca kutipan dari para apologet terkemuka berikut ini. Alister McGrath dan Ravi Zacharias dalam bukunya "Doubting" menuliskan bahwa keraguan merupakan ciri yang permanen dari kehidupan Kristen. Lee Strobel dalam bukunya "The Case for Faith" menyatakan bahwa bagi banyak orang keraguan merupakan sesuatu yang sangat menakutkan, tetapi yang lebih menakutkan adalah orang Kristen yang tidak berani bertanya, tidak berani menghadapi keraguan, terus-menerus menyimpannya sampai akhirnya meninggalkan imannya. Ketika keraguan itu terlalu besar, maka kita mungkin justru akan meninggalkan iman kita. J. Warner Wallace menuliskan hal yang senada, "Christians are not called to believe blindly. Jesus never asked His hearers to believe without any evidence. As Christians we can possess a forensic faith."

William Lane Craig dalam bukunya "Hard Questions, Real Answers" menuliskan bahwa orang-orang Kristen yang secara intelektual berhubungan dan merenungkan imannya, tidak terhindarkan, mereka pasti menghadapi keraguan. Apabila kita tidak pernah ragu, mungkin kita memang tidak mengerti iman kita atau kita tidak mau tahu dengan hal-hal yang positif yang mungkin bisa memperkuat iman kita. Timothy Keller dalam bukunya "The Reason for God" halaman 16-17 mengumpamakan keraguan seperti antibodi. Tanpa antibodi, tubuh kita akan menjadi mudah sakit. Namun dari mana tubuh kita bisa memproduksi antibodi? Karena ada serangan dan sesuatu yang kemudian direspons oleh tubuh kita dan menciptakan antibodi. Orang yang ragu adalah orang yang sehat secara iman.

Keraguan dapat didefinisikan sebagai ketidakpastian terhadap Allah dalam relasi kita kepada-Nya. Ada banyak bentuk pertanyaan yang muncul, termasuk isu-isu faktual atau filosofis, jaminan keselamatan, penderitaan, atau doa yang tak terjawab. Berbeda dengan pendapat pada umumnya, keraguan tidak selalu merupakan dosa. Tidak selalu juga keraguan merupakan musuh dari iman atau produk dari iman yang lemah. Keraguan dialami oleh banyak orang percaya di Alkitab seperti Abraham, Ayub, Daud, Yeremia, dan Yohanes Pembaptis. Dan hampir semua orang percaya, juga orang bukan percaya, terkadang mengalami keraguan. Meski terdengar agak aneh, keraguan sesungguhnya dapat menghasilkan sesuatu yang positif, dan banyak orang yang ragu-ragu merupakan orang-orang yang sangat mencintai Tuhan.

Keraguan dapat dibagi menjadi tiga variasi umum. Keraguan faktual biasanya mengangkat isu-isu terkait dengan kebenaran iman Kristen. Keraguan emosional utamanya melibatkan suasana hati dan perasaan, yang terkadang diekspresikan melalui pertanyaan tentang jaminan akan keselamatan. Keraguan motivasional adalah sebuah kategori keraguan yang mencakup iman yang lemah sampai hilangnya motivasi untuk mengikut Tuhan.

Pertama, keraguan faktual. Jawaban bagi keraguan faktual tentunya adalah fakta-fakta. Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan mengenai Allah, Yesus, Alkitab, atau kebangkitan dijawab melalui data yang ada. Kesalahan yang sering dibuat oleh orang-orang yang ragu secara faktual adalah mencampuradukkan isu-isu yang dapat diperdebatkan dalam kekristenan (misalnya, kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia, umur bumi, karunia roh, atau baptisan) dengan pertanyaan-pertanyaan terkait kebenaran iman Kristen.

Jika kita mengetahui kebenaran dari ketuhanan Yesus Kristus, kematian, dan kebangkitan-Nya, maka kebenaran iman Kristen juga dapat berdiri teguh. Jika kebenaran-kebenaran sentral ini benar, maka doktrin-doktrin utama lainnya, yang sebagian di dalamnya masih diperdebatkan, akan mengikuti dengan sendirinya, oleh sebab dasar-dasar yang kokoh ini memuaskan pertanyaan-pertanyaan faktual kita yang paling esensial.

Kedua, keraguan emosional. Ini adalah tipe keraguan yang paling umum sekaligus yang paling menyakitkan. Seringkali orang yang mengalami ini akan secara berulang-ulang berpikir apakah dirinya sudah diselamatkan, sekalipun hidupnya menunjukkan tanda-tanda kasih yang jelas kepada Tuhan. Mereka biasanya berkata kepada dirinya sendiri bahwa apa yang menjadi hasrat tertinggi mereka terlalu mustahil untuk digapai, dan demikian besar pula rasa sakit yang dirasakan karenanya. Di sini isu utamanya bukanlah apa yang terkatakan, tetapi emosi yang ada dibalik apa yang terlihat. Maka, solusinya adalah untuk menangani emosi tersebut. Banyak bagian dalam Alkitab yang mendorong kita untuk menghadapi emosi kita yang tidak stabil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun