Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Dunia adalah Penghakiman Dunia

10 Maret 2018   14:23 Diperbarui: 17 Agustus 2018   09:19 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dalam kekristenan, kita mewarisi imputasi (pemerhitungan) dosa dari Adam (Roma 5:12-21). Manusia mewarisi status dan natur yang berdosa. Dosa asal (original sin) inilah yang kemudian melahirkan berbagai perbuatan dosa (actual sins). Keadaan ini diperparah dengan intervensi dan dominasi iblis dalam kehidupan orang berdosa. Orang yang berdosa berasal dari si jahat (1Yoh 3:7-10) dan dibutakan oleh si jahat (2Kor 4:4). Adakah tempat bagi orang berdosa untuk melarikan diri dari penghakiman Allah? Adakah alasan untuk membela diri di depan Alah? Teks Roma 1:18-20 menjelaskan sisi lain dari keberdosaan manusia. Inti persoalan kita bukan terletak pada ketidakadaan kebenaran atau ketidakmapuan mendapatkan kebenaran. Sebaliknya, manusia berdosa justru secara aktif melawan kebenaran. Mereka tidak dapat berdalih. Mereka tidak dapat lari dari murka Allah.

Murka Allah (ayat 18a)

Penerjemah NIV tidak mencantumkan kata sambung gar (‘sebab’) yang ada di ayat ini, padahal semua versi lain tidak melalaikan hal ini. Absennya kata sambung “gar” dalam versi NIV menimbulkan kesan bahwa ayat ini tidak terlalu berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Hal ini sangat disayangkan. Ayat 18-20 merupakan penjelasan dari Paulus tentang kebenaran melalui iman di dalam Injil Yesus Kristus (ayat 16-17). Mengapa keselamatan/pembenaran harus melalui iman? Ayat 18-20 menyediakan jawabannya: sebab semua manusia berbuat dosa dan berada dalam murka Allah! Tidak ada yang melakukan kebaikan di hadapan Allah.

Paulus secara spesifik menyatakan bahwa murka ilahi ini dinyatakan dari surga. Mengapa Paulus perlu menambahkan keterangan ‘surga’? Sebagian penafsir menduga hal ini didasari oleh tradisi Yahudi yang populer tentang penghukuman Sodom dan Gomora, yaitu pada waktu Tuhan menurunkan hujan belerang dan api dari langit (Kej. 19:24). Sebagian yang lain berpendapat bahwa murka dari surga merupakan sebuah ungkapan untuk menandaskan bahwa tidak ada satu manusia di bumi yang diperkecualikan (lihat 3:9-20). Alternatif lain adalah sebagai cara untuk menekankan kemuliaan dan keterpisahan Allah dari manusia (Allah di surga, manusia di bumi), sehingga dosa manusia yang tidak mau memuliakan Allah (ayat 21), menggantikan kemuliaan itu dengan ciptaan (ayat 23) maupun mengganti kebenaran-Nya dengan dusta (ayat 25) tampak jauh lebih serius. Ketiga penafsiran ini mungkin sama-sama ada dalam pikiran Paulus, walaupun dua yang terakhir lebih mendapat dukungan dari konteks.

Hal yang menarik dari cara Paulus menjelaskan murka Allah di sini adalah bentuk kekinian (present tense) dari kata “apokalyptetai” (LAI:TB ‘nyata’; versi Inggris ‘is being revealed’). Sebagaimana kita ketahui, penyataan murka Allah biasanya dihubungkan dengan akhir zaman. Paulus pun mengajarkan hal ini di bagian selanjutnya (bdk. 2:5 ‘pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan). Kalau demikian, mengapa ia sekarang memakai bentuk kekinian?

Terlepas dari usulan beberapa penafsir yang memahami bentuk kekinian ini sebagai penekanan terhadap kesegeraan murka Allah di masa yang akan datang, kita sebaiknya menerima bentuk kekinian sesuai artinya yang lebih umum, yaitu tindakan yang sedang atau terus-menerus berlangsung. Dukungan untuk hal ini adalah pemunculan kata yang sama di ayat 17. Sebagaimana kebenaran Allah sedang dan terus-menerus dinyatakan di dalam pemberitaan Injil, demikian pula murka Allah juga sedang dan terus-menerus dinyatakan di dunia. Murka ini akan terus berlanjut dan mencapai titik puncaknya pada kedatangan Kristus yang kedua kali (2:5).

Pertimbangan konteks mengarahkan kita untuk melihat hukuman ilahi ini dalam dua bentuk. Yang terutama adalah melalui proklamasi Injil. Sebagaimana pemberitaan Injil menyatakan kebenaran Allah (ayat 17), dengan cara yang sama pemberitaan Injil menyatakan murka-Nya atas dosa-dosa manusia (ayat 18a). Paulus sendiri baru menguraikan kebenaran melalui iman (3:21-24) setelah ia menunjukkan keberdosaan seluruh umat manusia (3:9-20). Injil tidak akan menjadi kabar baik apabila keadaan manusia yang buruk dan terpuruk dalam dosa tidak disampaikan. Injil bukan hanya tentang kasih Allah, namun juga penghakiman-Nya atas dosa.

Bentuk lain adalah melalui penyerahan manusia ke dalam dosa-dosa yang lebih nista. Roma 1:21-32 secara eksplisit mencatat tentang respons Allah terhadap dosa-dosa manusia, yaitu menyerahkan mereka  ke dalam dosa yang lebih parah (frasa ‘karena itu Allah menyerahkan...’ di ayat 24, 26, dan 28). Bentuk lampau yang digunakan pada kata ‘menyerahkan’ (paredoken) menyiratkan bahwa hukuman ini sudah berlangsung sejak permulaan kebudayaan manusia pasca kejatuhan manusia ke dalam dosa. Meminjam ungkapan dari seorang teolog, kita dapat menyimpulkan poin ini sebagai berikut: ‘sejarah dunia adalah penghakiman dunia’. Dengan kata lain, keadaan dunia yang dipenuhi dosa dan penderitaan merupakan salah satu wujud murka Allah atas dosa.

Konsep ini selaras dengan ajaran Alkitab di bagian lain. Allah mengeraskan hati Firaun dengan maksud untuk menghukum dia (Kel. 4:21; 7:3; 9:12; 10:20, 27; 11:10; 14:4, 8, 17). Kebebalan anak-anak imam Eli terhadap teguran ayahnya dimaksudkan untuk membunuh mereka (1Sam. 2:25). Realisasi hukuman Allah atas Ahab melibatkan intervensi roh-roh dusta dalam diri para nabi palsu yang memang sudah lama memperdayai dan dipercayai oleh Ahab (1Raj. 22:20-38). Sebaliknya, anak-anak Allah pasti akan menerima teguran dan hajaran dari Allah (Ibr. 12:5-13).

Penyebab murka Allah (ayat 18b)

Allah bukanlah seperti dewa-dewa kafir kuno yang mudah marah tanpa alasan yang jelas. Kalau beberapa dewa menimbulkan bencana ke dunia akibat peperangan antar dewa, Allah tidaklah demikian. Penyebab murka ilahi adalah tindakan manusia. Kalau pada mitologi kuno solusi untuk meredakan murka Allah ada pada manusia (sesajen, ritual tertentu, dsb.), murka Allah di ayat 18a diredakan oleh Allah sendiri melalui pengorbanan Anak-Nya (1:16-17; 3:24-26).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun