Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wawasan Dunia Kristen

4 Maret 2018   09:29 Diperbarui: 24 Agustus 2018   23:53 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para ahli memberikan beragam definisi tentang “wawasan dunia”. Terlepas dari keberagaman pada tingkat detail dalam definisi yang diberikan, semua ahli pada dasarnya telah menyentuh elemen umum yang seragam. Secara sederhana wawasan dunia dapat didefinisikan sebagai “how one views or interprets reality…it is the framework through which or by which one makes sense of the data of life”. Walaupun definisi ini sebenarnya tidak bisa menjelaskan semua aspek dalam wawasan dunia, tetapi sudah memadai untuk menunjukkan aspek penting dalam sebuah wawasan dunia. Kata kunci dalam definisi ini adalah “framework”. Wawasan dunia bukan hanya tentang apa yang kita lihat (objek pengetahuan), tetapi bagaimana kita melihat apa yang kita lihat (perspektif pengetahuan). Ini tentang “bagaimana” (how), bukan hanya “apa” (what).

Kita bisa menjelaskan pengertian wawasan dunia dengan cara yang sedikit berbeda. Wawasan dunia merupakan keyakinan kita terhadap beberapa pergumulan fundamental dalam hidup ini yang nanti akan kita jadikan perspektif untuk melihat hal-hal lain yang bersifat sekunder. Pergumulan ini mencakup pertanyaan ontologis, epistemologis, aksiologis, dan teleologis. Pertanyaan ontologis berhubungan dengan pergumulan seputar asal usul dunia dan keberadaan (Darimanakah asal alam semesta? Mengapa ada keberadaan dan bukan ketidakadaan?). Pertanyaan epistemologis menyentuh arti dan dasar kebenaran (Apakah kebenaran itu? Bagaimana kita tahu bahwa sesuatu adalah benar?). Pertanyaan aksiologis menyinggung tentang persoalan moralitas (Apakah suatu tindakan etis atau tidak? Bagaimana kita menentukan penentu nilai moralitas ini?) Pertanyaan teleologis berkisar seputar tujuan keberadaan manusia dan arti hidup ini (Mengapa kita ada di dunia ini? Apakah hakikat keberhasilan sebuah kehidupan di dunia ini?).

Hal lain sehubungan dengan wawasan dunia yang perlu kita pahami adalah karakteristik. Sebuah wawasan dunia pasti memiliki karakteristik tertentu. Arthur W. Holmes memaparkan beberapa karakteristik penting dari suatu wawasan dunia.

  • Wawasan dunia memiliki tujuan yang holistik: mencoba melihat setiap area kehidupan dan pemikiran dalam suatu cara yang integratif.
  • Wawasan dunia merupakan pendekatan yang bersifat perspektif: melihat hal-hal dari titik pandang yang sudah diadopsi sebelumnya yang sekarang menyediakan kerangka integratif.
  • Wawasan dunia memiliki proses eksplorasi: mengarahkan hubungan antara satu area dengan area yang lain ke suatu perspektif yang terpadu.
  • Wawasan dunia bersifat pluralistik: perspektif dasar dapat diartikulasikan dalam beberapa cara yang berbeda.
  • Wawasan dunia memiliki tindakan sebagai hasilnya: apa yang dipikirkan dan dinilai membimbing apa yang akan dilakukan.

Berdasarkan definisi dan karakteristik di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa setiap orang pasti memiliki wawasan dunia, terlepas dari (1) orang tersebut menyadari atau tidak bahwa ia memilikinya; (2) orang tersebut memahami pengertian wawasan dunia atau tidak; (3) wawasan dunia tersebut benar atau tidak; (4) wawasan dunia tersebut terintegrasi atau tidak. Hal ini sangat berkaitan dengan kebutuhan integral dalam diri semua orang terhadap sebuah wawasan dunia. Manusia memiliki kebutuhan untuk menyatukan pikiran dan kehidupan, mendefinisikan sebuah kehidupan yang baik serta menemukan pengharapan dan arti kehidupan, mengorganisir atau membimbing pikiran-pikiran kita, menjaga tindakan-tindakan kita sesuai dengan konsep yang kita yakini. Beberapa kebutuhan fundamental ini pada akhirnya mendorong semua orang – baik disadari atau tidak – untuk mengadopsi sebuah wawasan dunia tertentu. Wawasan dunia yang diambil mungkin hanya satu tetapi bisa juga beberapa digabungkan secara tidak konsisten. Pendeknya, semua orang hidup berdasarkan wawasan dunia tertentu. Jadi, pergumulan setiap orang bukanlah “haruskah aku memiliki sebuah wawasan dunia”, melainkan “wawasan dunia manakah yang benar dan harus aku pegang?”

Wawasan dunia Kristen

Salah satu problem terbesar dalam kekristenan adalah anti-intelektualisme. Gerakan Zaman Baru dan Postmodernisme berhasil menganakemaskan pemuasan emosi jauh di atas pergumulan intelektual. Spiritualitas hanya dibatasi pada berbagai aktivitas eklesiastikal yang bersifat vertikal dan sempit, misalnya berdoa, menyanyi, memberikan persembahan, dsb. Tanpa bermaksud mengurangi nilai biblikal dari semua kegiatan ini, kita perlu menyadari dengan sungguh bahwa kekristenan jauh lebih komprehensif daripada semua ini. Kekristenan adalah sebuah wawasan dunia yang memiliki banyak implikasi dalam berbagai aspek kehidupan di dunia.

Gejala ini di atas disayangkan, terutama di kalangan mahasiswa. Universitas sebagai pusat pergumulan telah dipengaruhi begitu rupa oleh wawasan dunia yang menyimpang. Jika wawasan dunia Kristen yang kuat tidak diajarkan di universitas, maka pusat pendidikan yang berfungsi untuk mencetak para pemikir dan pemimpin ini pasti akan mengadopsi wawasan dunia yang lain. Hal ini sangat berhubungan dengan fakta bahwa dunia pendidikan tidak pernah netral dalam hal ideologis. Richard A. Baer menulis, “Education never takes place in a moral and philosophical vacuum. If the larger questions about human being and their destiny are not being asked and answered within a predominantly Judeo-Christian framework (worldview), they will be addressed with another philosophical or religious framework – but hardly one that is neutral”.

Pada gilirannya pengaruh wawasan dunia non-Kristen di sebagian besar universitas pasti akan memengaruhi masyarakat seperti apa yang terbentuk di kemudian hari. Jika banyak universitas diwarnai wawasan dunia non-Kristen, maka para pemikir dan pemimpin yang dihasilkan juga pasti akan membawa warna tersebut ke dalam masyarakat yang di dalamnya mereka berkiprah. Sebaliknya, “If the Christian worldview can be restored to a place of prominence and respect at the university, it will have a leavening effect throughout society. If we change the university, we change our culture through those who shape culture.”

Apakah kita memiliki dasar Alkitabiah yang kokoh bagi upaya membentuk sebuah wawasan dunia Kristen? Tentu saja. Dalam hal ini Roma 12:2 merupakan teks yang paling  penting, karena ayat ini secara eksplisit berbicara tentang cara berpikir Kristiani (“berubahlah oleh pembaruan akal budimu”). Kita tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan kekristenan, tetapi memikirkan segala sesuatu secara Kristiani. James Boice dengan tepat membedakan antara dua hal di atas: “but to think Christianity itself is not a matter of thinking about Christian subjects…but rather to think in a Christian way about everything.” Kita bisa saja memikirkan hal-hal tentang kekristenan tetapi dengan cara berpikir yang sekuler. Sebaliknya, kita juga bisa memikirkan hal-hal yang tampak sekuler dari perspektif Kristiani. Yang kedua inilah yang dimaksud oleh Paulus dalam teks ini.

Teks di atas mengajarkan beberapa poin penting seputar wawasan dunia Kristen. Pertama, keselamatan dan pertumbuhan rohani sangat ditentukan oleh perubahan cara berpikir. Di pasal 1-11 Paulus banyak membahas tentang doktrin keselamatan (bagaimana orang berdosa dapat diselamatkan melalui iman kepada Kristus). Pasal 12 merupakan awal dari bagian yang praktis di Surat Roma. Bukan suatu kebetulan apabila pada bagian awal pasal 12-16 Paulus menyinggung tentang perubahan cara berpikir. Posisi seperti ini menunjukkan bahwa salah satu buah pertobatan atau bukti keselamatan adalah perubahan cara berpikir.

Lebih jauh, perubahan ini juga sangat mempengaruhi pertumbuhan rohani orang Kristen. Grant R. Osborne memberikan komentar menarik tentang hal ini. Setelah menyebutkan beberapa teks dalam Surat Roma yang menunjukkan pikiran sebagai salah satu aspek terpenting yang mempengaruhi kerohanian (1:18-32; 7:23, 25; 8:5-7), Osborne menyatakan, “thus it is clear that the mind is where spiritual growth occurs, and in the mind decisions are made that determine one’s spiritual direction and destiny. Paul’s focus is inner, spiritual transformation, and the locus is in the thinking process.” Tanpa perubahan pikiran kita tidak mungkin bisa memahami kehendak Allah (Rm. 12:2b). Tanpa memahami kehendak Allah maka kita tidak mungkin dapat bertumbuh secara rohani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun