Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keluarga yang Berpusatkan Injil

18 Februari 2018   08:25 Diperbarui: 19 Agustus 2018   00:32 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak sukar untuk menemukan pernak-pernik atau dekorasi Kristiani di rumah-rumah orang Kristen: pigura dengan teks Alkitab tertentu atau doa tertentu, ornamen salib, dan sebagainya. Dari pandangan sekilas orang lain akan tahu bahwa penghuni rumah tersebut adalah orang-orang Kristen. Pertanyaannya, apakah kualitas kekristenan di rumah tersebut lebih daripada sekadar simbol? Bagaimana sebuah keluarga seharusnya menerapkan prinsip-prinsip Kristiani di dalam rumah?

Teks kita hari ini merupakan salah satu persiapan penting sebelum bangsa Israel menaklukkan dan mendiami tanah Kanaan (Ul. 6:6-9). Musa mengajarkan bagaimana bangsa Israel kelak dapat menjadi bangsa luhur dan makmur. Menariknya, persiapan ini berhubungan dengan pengajaran firman Tuhan kepada anak-anak di rumah. Dengan kata lain, pembentukan bangsa yang besar dimulai dari rumah yang kecil. Bagaimana orang tua mendidik anak-anak mereka akan menentukan bagaimana nasib suatu bangsa.

Melalui teks ini kita akan belajar bagaimana para orang tua seharusnya mengajarkan kebenaran firman Tuhan kepada anak-anak mereka. Usaha ini membutuhkan lebih dari sekadar ornamen dan dekorasi Kristiani di dinding rumah. Dibutuhkan lebih dari sekadar deretan perintah dan larangan yang perlu ditaati oleh anak-anak.

Pertama, memiliki hati bagi Tuhan dan firman-Nya (ayat 6). Bagian ini mendahului perintah untuk mengajar anak-anak. Orang tua harus “memperhatikan” perintah-perintah Tuhan (LAI:TB). Kata Ibrani untuk “perhatikan” di sini seharusnya diterjemahkan “ada dalam hati” (versi Inggris).

Dalam budaya Israel, “hati” seringkali dianggap sebagai pusat kehidupan seseorang. Apa yang terpenting. Apa yang menggerakkan seluruh aspek kehidupan. Jadi, ini bukan sekadar “memperhatikan” (LAI:TB), seolah-olah ini hanyalah sebuah aktivitas visual atau intelektual. Ini tentang meletakkan sesuatu yang terpenting (firman Tuhan) di tempat yang terpenting (hati manusia).

Apa yang seharusnya ada dalam hati para orang tua? Semua perkataan Tuhan yang diperintahkan pada hari itu! Di antara semuanya, yang terpenting dicantumkan di ayat 4-5 “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”. Nilai penting dari dua teks ini bagi bangsa Israel tidak terbantahkan. Setiap hari mereka mengucapkan ayat 4 dalam doa mereka. Inti seluruh perintah Allah termaktub dalam ayat 5 (Mat. 22:35-40).

Dua ayat di atas dapat diringkas menjadi satu kalimat: keesaan dan keutamaan Tuhan merupakan pondasi bagi hubungan kerohanian yang benar. Tanpa mengetahui dan mengakui keesaan dan keutamaan Tuhan, kita tidak akan mau dan mampu mengasihi Dia dengan segala totalitas kehidupan kita. Kita tidak menyisakan apapun dalam upaya kita untuk mencintai Dia.

Kebenaran di atas seharusnya sudah ada dalam hati para orang tua sebelum mereka mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anak mereka. Orang tua hanya bisa memberikan apa yang mereka sudah miliki. Jikalau orang tua sendiri tidak menganggap keesaan dan keutamaan Tuhan sebagai hal yang terpenting dalam kehidupan, bagaimana mereka dapat mengajar anak-anak mereka untuk melakukan sebaliknya?

Kedua, mengajar dengan penuh kerajinan (ayat 7). Musa tidak mengajar anak-anak. Bukan karena dia tidak mau melakukan hal itu. Hanya saja, hal itu bukan menjadi tanggung-jawab utamanya. Mengajarkan kebenaran kepada anak-anak merupakan tanggung-jawab setiap orang tua. Merekalah yang berada di barisan terdepan dalam pendidikan anak. Beban pengajaran ada di pundak mereka.

Sekilas tidak ada yang menarik dari perintah ini. Setiap orang tua pasti pernah mengajarkan kebenaran kepada anak mereka. Kalau begitu, apa yang perlu diperhatikan di ayat ini? Kata “berulang-ulang” (LAI:TB)! Sebagian besar versi Inggris memberi terjemahan “dengan rajin” (KJV/ASV/RSV/ESV). Tambahan kata “dengan rajin” atau “berulang-ulang” di sini sangat penting, sebab tidak banyak orang tua yang rajin melakukannya.

Bagian selanjutnya dari ayat 7 menerangkan aspek kerajinan ini. Rajin mengajar berarti mengoptimalkan setiap momen: pada waktu duduk, berbaring, bangun, maupun di tengah perjalanan. Setiap momen adalah momen pengajaran. Jangan sampai satu momen pun terlewatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun