Kalau Anda ingin "menikmati" perempuan-perempuan cantik berpakaian mini, pergilah ke Manado/Minahasa. Di tempat-tempat wisata, di gedung bioskop, di pasar, di mal bahkan di pasar tradisional; bertebaran perempuan-perempuan cantik dengan pakaian mini. Saya pernah tinggal di Manado antara 2010 s.d. 2013 dan nyambung tahun 2018.Â
Pernah sekali waktu saya mengantar seorang teman ke dokter. Kejadiannya, kalau tidak salah, tahun 2011. Teman saya ini asli Minahasa. Sedang kami menunggu dokter datang di ruang tunggu, seorang perempuan khas Minahasa (berkulit putih bersih, wajah cenderung Chinese) masuk ke ruangan dokter. Dia berpakaian you can see dengan panjang hampir setengah di atas lutut. Rambut lurusnya tergerai. Sama sekali saya tidak menyangka bahwa dialah dokter yang teman saya tunggu.Â
Menariknya, data tahun 2016 mengungkapkan bahwa Manado/Minahasa/Sulawesi Utara bukan termasuk Provinsi yang rawan pelecehan seksual. Padahal, kalau benar tindakan asusila laki-laki terhadap perempuan dipicu oleh cara perempuan berpakaian; Provinsi Sulawesi Utara seharusnya masuk sebagai provinsi paling rawan pelecehan seksual.Â
Dari data yang dirilis oleh Komnas Perempuan tahun 2016, Sulawesi Utara tidak masuk di antara 5 provinsi paling rawan tindak pelecehan seksual. Yang mengejutkan, dari data itu, Aceh justru menempati urutan ke-1 provinsi paling rawan tindak kekerasan seksual. Padahal, dari cara perempuan berpakaian, bila dibandingkan dengan Provinsi Sulawesi Utara; Aceh sangat tertutup. Tidak ada perempuan bercelana pendek berkeliaran di jalan. Tidak ada perempuan berok mini jalan-jalan di mal. Tidak ada perempuan berpakaian you can see pergi ke pasar. Faktanya, Provinsi Aceh menduduki urutan pertama provinsi paling rawan tindak kekerasan seksual sedangkan Provinsi Sulawesi Utara sama sekali tidak tercantum.
Maka, pertanyaannya, mengapa Provinsi Sulawesi Utara justru tidak masuk sebagai provinsi paling rawan tindak pelecehan seksual padahal perempuan-perempuan di sana justru begitu bebas atau vulgar dalam berpakaian?Â
Jawaban atas pertanyaan itu perlu penelitian lebih dalam. Namun, sejauh pengamatan dangkal saya, salah satu faktornya adalah kesetaraan laki-laki perempuan. Kesetaraan antara laki-laki perempuan itu membentuk budaya hormat terhadap perempuan dari laki-laki. Bukankah pelecehan seksual sesungguhnya berakar pada rasa tidak hormat laki-laki terhadap perempuan?
Â