Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sosialisasi Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) dengan Logat Daerah Lebih Dipahami Masyarakat

19 Juli 2020   21:37 Diperbarui: 23 Juli 2020   21:38 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi:http://promkes.kemkes.go.id

Selama masa pandemi Covid-19 sejak awal Maret 2020 sering terdengar istilah asing yang bagi awam tidak mudah untuk memahami. Artinya tidak semua masyarakat paham dan mengerti istilah asing, mengingat kondisi sosial, pendidikan, wawasan, dan pengetahuan yang berbeda. Upaya pemerintah untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 harus stay at home, work from home (WFH), lockdown, social distancing, phisical distancing. Tidak kalah menarik muncul istilah baru ODP, APD, PDP, OTG, PSBB, SIKM, new normal.

Istilah asing dan baru selama pandemi Covid-19 bagi awam terlalu teknis dan bahasa tinggi, sehingga wajar ada sebagian masyarakat yang tidak mengerti beneran apa maksudnya. Akibatnya ada "kesan" masyarakat  tidak peduli ada wabah yang mengancam jiwa dan keluarganya. Mereka hanya merasakan dampak ekonomi secara langsung, roda penghidupan seakan melambat, karena penundaan, pembatalan job, bahkan PHK. Padahal mereka butuh makan setiap hari, hidup terus berjalan. Jangankan bertahan hidup dengan tabungan, untuk pendapatannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.  

Disisi lain Covid-19 tidak bisa diabaikan karena belum ditemukan vaksin untuk mencegahnya. Data  per 18 Juli 2020 ada 84.882 kasus positif, 43.268 sembuh, dan 4.016 meninggal (https://nasional.kompas.com). Kondisi ini menunjukkan korban yang terpapar terus bertambah setiap hari, walaupun yang sembuh menunjukkan peningkatan. Artinya walaupun pemerintah sudah melakukan pelonggaran PSBB agar roda perekonomian dapat bergerak bukan berarti kondisinya sudah kembali normal seperti sebelum ada pandemi Covid-19. Kita tetap harus hati-hati dan mentaati protokol kesehatan, agar perekonomian dapat berjalan.

Covid-19 belum dapat diprediksi kapan berakhir, namun perekonomian juga tidak boleh berhenti, agar hajad hidup orang banyak terpenuhi. PSBB dilonggarkan dimaksudkan agar masyarakat dapat mulai menjalankan aktivitas di luar rumah, asal ketat dan taat melaksanakan kegiatan dengan kebiasaan baru sesuai protokol kesehatan. Keluar rumah memakai masker, sering cuci tangan dengan air mengalir memakai sabun, menghindari kerumunan, jaga jarak aman. Diakui waktu  penerapan PSBB saja masyarakat sering melanggar, berdalih, dan mengelabuhi aparat, apalagi PSBB dilonggarkan.

Pelonggaran PSBB terjadi euforia di masyarakat, seperti terlepas dan terbebas keluar rumah setelah 3 (tiga ) bulan lebih berkegiatan dari rumah. Dalih berolah raga dengan jalan kaki, gowes, refreshing, seakan "melawan lupa" masih ada bahaya Covid-19 disekitarnya. Kondisi demikian memicu jumlah orang yang terpapar setiap hari diatas seribu. Penyebabnya semakin banyak OTG yang tidak disadari,  melalukan aktivitas ternyata menularkan kepada orang yang rentan, resiko tinggi (usia diatas 60 tahun, mempunyai penyakit bawaan). Pemeriksaan rapid tes dan swab yang masif dipasar, car free day, yang biayanya lebih murah atau ada sponsor yang menggratiskan.

Dalam pelonggaran PSBB muncul istilah "new normal" yang sering diartikan masyarakat awam sebagai kondisi sudah normal, padahal sebenarnya "normal" saat ini tidak sama dengan "normal"  sebelum ada pandemi Covid-19. Kernormalan saat ini tetap waspada karena Covid-19, sehingga  mematuhi protokol kesehatan tidak dapat ditawar lagi. Hal ini bukan berarti membatasi ruang gerak dan mengurangi rasa nyaman dalam beraktivitas. Semua demi menjaga diri, keluarga, tetangga, dan lingkungan sosial kita. Istilah "new normal" karena rancu, maka diganti dengan istilah "Adaptasi Kebiasaan Baru" (AKB), agar masyarakat lebih paham dan tetap mengikuti protokol kesehatan.

Bahasa komunikasi dari pemerintah yang sering menggunakan istilah asing, terlalu teknis, kurang menyadarkan masyarakat awam. Lebih baik bila dan lebih efektif bila menggunakan bahasa daerah masyarakat setempat yang dipakai sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Pemerintah perlu menggandeng para ulama, pendeta, tokoh agama dan masyarakat, serta public figur. Bisa juga orang biasa, warga desa yang lucu, polos dengan logat bahasa daerah yang mudah dipahami dan dimengerti masyarakat heterogen. Tentu semua ini tanpa mengesampingkan bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa.

Sempat ada video viral "larangan mudik" dibuat Muhammad Sofyan (Ucup) pemuda asal Klaten Jawa Tengah, melalui channel Youtube. Ucup berkolaborasi dengan Mbah Minto, nenek berusia 70 tahun yang hidup sendirian di desa. Dialog dalam video tersebut intinya melarang anaknya di perantauan mudik karena ada virus Corona, tapi dialog menjadi lucu, menimbulkan tawa karena Mbah Minta lebih penting mengharap kiriman uang anaknya daripada mudik beresiko. Pesan yang disampaiakan dengan bahasa Jawa, sederhana, mudah dimengerti, dipahami, dan menghibur. Bahasa sederhana lebih efektif daripada bahasa baku, formal, dan monoton. Walau diakui belum ada penelitian ilmiah tingkat efektivitas penyampaian pesan melalui Mbah Minto dan Ucup. Minimum sebagai terobosan penyampaian pesan kepada masyarakat yang tidak semuanya memahami bahasa asing dan teknis.

Yogyakarta, 18 Juli 2020 Pukul 20.10

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun