Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nilai Kejujuran dan Sportivitas Benarkah Sudah Hilang?

4 Januari 2019   14:28 Diperbarui: 4 Januari 2019   16:44 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olah raga kata orang identik dengan sportivitas menurut KBBI berarti sikap adil terhadap lawan, mengakui kenggulan (kekuatan, kebenaran) lawan atau kekalahan (kelemahan, kesalahan) sendiri, kejujuran, kesportifan. Artinya dalam melakukan pertandingan, semestinya menjaga nilai-nilai kejujuran dan sportivitas. Tabu melakukan tindakan tercela, menelikung, merekayasa kemenangan dalam suatu pertandingan apapun (olah raga, karya tulis, hibah kompetisi, pemilihan orang berprestasi dalam profesi, dll). 

Namun realita di lapangan kadang ada "tangan-tangan" yang tidak kasat mata dan/atau kasat mata dapat menentukan siapa yang menjadi juara. Kalau sudah begini apa makna dan manfaat suatu perlombaan, penjurian, apakah sekedar formalitas ?. Sungguh saya tidak bisa menjawabnya fenomena ini. 

Pastinya dalam setiap lomba selalu dicantumkan pernyataan dari panitia:"Keputusan Dewan Yuri mutlak, tidak boleh diganggu gugat". Artinya kalau yuri sudah memutuskan tidak boleh ada yang melakukan protes apapun alasannya. Padahal dilapangan yuri menentukan karena "tekanan" pihak yang berkuasa, atau hanya bersuara sendiri sehingga diabaikan pertimbangannya oleh yuri lain.

Berdasarkan pengalaman menjadi yuri suatu pemilihan profesi berprestasi selama 10 (sepuluh) tahun selalu ada pihak-pihak yang ikut campur dalam menentukan pemenang. Semestinya yuri independen, bebas dari pengaruh dan mempunyai wewenang mutlak untuk menentukan sang juara. Saya merasakan ini semua baik ketika menjadi peserta maupun setelah menjadi yuri. 

Sebagai juri dalam suatu lomba yang dinilai bukan sekedar apa yang tersurat dan tersirat dalam portofolio, karya tulis, dan presentasi, tetapi juga melihat perilaku, moralitas dan hubungan sosial dengan lingkungannya. Namun ketika rapat pleno yuri yang menyampaikan keberatan ketika menentukan juara pertama, justru mendapat serangan balik ketua yuri atau penguasa:"telah menyebarkan fitnah". Aneh bukan, namun itulah kenyataannya di lapangan.

Demikian juga di bidang olah raga khususnya sepak bola, yang bagi saya sangat awam dengan lika-liku di dalamnya. Walaupun awam dengan sepak bola, tetapi anak-anak laki-laki nomor satu dan nomor empat sejak di SD, SMP, SMA, dan kuliah menyukai permainan ini, sehingga menfasilitasi kebutuhan perlengkapan sepak bola dan kursus adalah hal biasa. 

Bahkan setiap minggu berburu eceran majalah Bola yang sekarang sudah tidak terbit di warung koran pinggir jalan, untuk membelikan informasi tentang sepak bola di dunia dan di Indonesia. Namun ketika minta ijin untuk sekolah sepak bola sebagai pemain profesional, dengan tegas menolaknya, karena ingin tetap sekolah formal. Kalaupun bermain bola sekedar hobi, berolah raga, bersosialisasi,  melatih kejujuran dan sportivitas, bukan untuk profesi dalam kehidupannya.   

"Topik Pilihan" dari Kompasiana tentang:"Pengaturan Skor Sepakbola Indonesia", memotivasi untuk menulis opini. Ternyata sampai dibentuk Satgas Antimafia Bola pada tanggal 22 Desember 2018,  ada 240 laporan melalui hotline, dan 47 laporan skandal pengaturan skor sepak bola Indonesia. Jadi setiap pertandingan itu sudah diatur siapa yang menang dengan skornya. Padahal logikanya bola itu bulat bukan bundar, menggelinding di arena lapangan hijau yang diperebutkan 22 pemain. 

Pertanyaannya kenapa bisa terjadi ada permaianan skor, padahal pemainnya berlari, menyundul, menendang, menyepak sekuat tenaga untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Keringat bercucuran, kadang terjatuh dan cidera karena sepatu bola itu tajam. Ketika pemain berhasil memasukkan bola ke gawang lawan mendapat sorak sorai yang membahana dari penonton yang di  tribune dan depan TV. Sering supporter yang fanatik mendukung kesebelasan idolanya, selalu mengikuti di kota mana bermain. Tanpa bekal memadai, naik angkutan umum truk (bonek), sering memicu keributan dengan sesama supporter dan masyarakat karena ulahnya yang menganggu ketertiban umum. Sering menjadi salah sasaran dalam tawuran massa, sehingga jiwanya melayang.

Lagi-lagi skor itu bisa direkayasa ?. Inilah kenaifan saya tentang persoalan sepak bola di Indonesia. Sungguh tidak pernah menyangka ada mafia dibalik persepakbolaan di Indonesia. Kalau semua sepak bola yang kasat mata saja dapat disusupi mafia, bagaimana dengan yang lainnya ?. Pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam sanubari apa benar ada mafia?. 

Ternyata benar ada, masalahnya dimana nilai-nilai kejujuran dan sportivitas itu sekarang ?. Benarkah hatinurani itu sudah hilang dan/atau "tercemar" mafia, sehingga "menggadaikan" kejujuran dan sportivitas ?. Pastinya sebagai warga masyarakat yang awam dengan persepakbolaan hanya bisa berharap semoga pada Kongres PSSI di Bali tanggal 20 Januari 2019 dapat menuntaskan masalah mafia ini. Dalam setiap pertandingan sepak bola, kalah menang adalah hal biasa, kalaupun menang secara ksatria, tidak "jumowo" dan kalahpun harus "legowo".  Siapapun yang mempunyai kewenangan untuk mengurus persepakbolaan di Indonesia, semoga tetap amanah dan mempertahankan kejujuran dan sportivitas.

Yogyakarta, 4 Januari 2019 Pukul 14.18

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun