Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelayanan dengan Hati Bukan Emosi

30 Maret 2018   13:18 Diperbarui: 30 Maret 2018   14:06 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.urbanwomen.org

Pelayanan selalu berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan custumer (pelanggan) yang memanfaatkan jasa dari institusi baik pemerintah maupun swasta. Namun kalau disimak ada perbedaan menyolok pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dan swasta. Mengapa ?.  Pelayanan dari lembaga pemerintah, lebih dikenal jargon:"birokrasi yang sulit berbelit", "kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah"?. Jargon karena "warisan" era feodal ada "abdi dalem/para priyayi", dan penjajahan Belanda ada "ambtenaar", yang watak dan karakternya minta dilayani, bukan melayani.

Walau saat ini kementerian yang menangani apatur negara sudah dirubah dan ditambah menjadi Menpan dan Reformasi Birokrasi, namun watak dan karakter para abdi negara itu masih belum direformasi. Akibatnya pelayanan kepada masyarakat yang mengurus keperluan (e-KTP, surat keterangan, kartu keluarga, dan lain-lain masih birokratis, lama, tidak menyenangkan, dan lain-lain). Walau diakui sudah instansi pemerintah melaksanakan reformasi birokrasi dalam pelayanan misalnya di Samsat, pajak, bank, BPN, Kantor Pos, Imigrasi, Haji, rekruitmen PNS/ASN, dan lain-lain.

Di lembaga swasta relatif lebih cepat melakukan perubahan untuk memberikan pelayanan prima kepada pelanggannya, karena tuntutan persaingan yang ketat dan berat. Bila tidak bisa bersaing dan cepat berubah dengan membuat inovasi pasti dengan mudah ditinggal pelanggan. Kalau sudah ditinggal pelanggan, berarti tidak ada pemasukan untuk biaya operasional dan gaji pegawai. Oleh karena itu pelayanan di lembaga swasta selalu berinovasi, progresif, aktif, kreatif dan menyesuaikan "kebutuhan" para pelanggan bukan kebutuhan para penguasa seperti di lembaga pemerintah.

Kalau diamati pelayanan di bank, hotel, retoran sejak dari Satpam sampai manager sudah mendapat "training" memberikan pelayanan prima kepada setiap nasabah, tamu yang datang. Perhatikan juga sikap "teller" ketika melayani nasabah, wajahnya selalu tersenyum, ramah, sopan, santun, lembut, salam, simpati dan empati. Kalau sudah selesai  pasti mengucapkan terima kasih dan hati-hati di jalan. Ini adalah standar operating system (SOP) untuk memberi pelayanan kepada nasabah. Bagian "custumer service", perhatikan ketika menghadapi tamu, pasti sikap hormat (dari posisi duduk ke berdiri), menyalami, perkenalan, dan mendengarkan apa yang menjadi permasalahannya. Pelayanan dengan sepenuh hati tanpa emosi, yang tulus, sabar, dan ikhlas, tanpa mengharap imbalan apapun.

Pernahkah disambut dengan muka cemberut, cuek, masa bodoh, sikap seenaknya ?. Jawabnya, yakin belum pernah, karena begitu ada "complain" dari nasabah/tamu/pelanggan pasti segera mendapat teguran, peringatan, sanksi dari pimpinannya. "Complain" pelanggan sebagai indikator pelayanan yang kurang baik, dapat mempengaruhi "citra/image" institusi. Bila nasabah sampai menarik diri/pindah tempat lain, berarti ancaman bagi kelangsungan hidup institusi tersebut. 

Kalau di institusi seperti bank, hotel, restoran selalu berprinsip :"Pelanggan adalah Raja", kenapa di instansi pemerintah tidak bisa melakukan hal ini ?. Alasan klasik yang selalu disampaikan karena di bank gajinya besar, ada uang "kosmetik", untuk merawat "kecantikan dan ketampanan", untuk  ASN tidak ada. Dalam reformasi birokrasi pun pemerintah sudah memberikan tunjangan kinerja/tukin bagi ASN di lingkungan instansi pemerintah yang telah memenuhi kriteria penilaian wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk audit laporan keuangan. Besarnya tunjangan kinerja ini antar kementerian/lembaga non departemen tidak sama, namun sebagai tambahan pendapatan bagi ASN selain gaji pokok yang diterima setaip bulan.

Baca Juga: Tunjangan Kinerja, Apa Dampaknya ?

Apapun persoalannya semestinya ASN khususnya yang langsung berhubungan dengan masyarakat, dituntut mempunyai jiwa untuk memberikan pelayanan prima tanpa membedakan status sosial, jabatan, agama, asal usul, bahasa, warna kulit, pendidikan, dan pandangan politik. Belum menjadi budaya bagi ASN menerima kritikan masyarakat yang mendapat pelayanan buruk. Kotak saran dan "aspirasi pelanggan" melalui "website" kurang mendapat perhatian dan tanggapan dari pimpinan yang bertanggung jawab. Salut untuk para pimpinan yang sudah "mereformasi diri", kritikan, masukan, saran, pendapat, bahkan keluh kesah/complain  menjadi bahan untuk instrospeksi dan perbaikan pelayanan.

Namun masih diakui, ada masyarakat yang berstatus ASN pun bila mengajukan "complain" terhadap pelayanan yang buruk bukan mendapat penyelesaian dengan "hati nurani, empati, simpati", namun "dicap" sebagai "pemberontak" yang terlalu berani melawan penguasa. Penyelesaian masalah yang dihadapi dengan pendekatan "nafsu angkara murka sambil kebakaran jenggot dan emosi", karena telah "terusik praktik kedholiman dan ketidakadilan". Data, fakta dan informasi yang sebenarnya/asli ditutup rapat, "diplintir dan dipolitisir" supaya "wajah borok birokrasi" tidak menjadi konsumsi publik, yang dapat "mencemarkan" nama baiknya. Kalau sudah begini dimana makna reformasi birokrasi ?.

Yogyakarta, 30 Maret 2018 pukul 13.12

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun