Dalam perjalanan hidup, satu hal yang pasti adalah perubahan. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang benar-benar abadi. Segala sesuatu yang hari ini kita miliki dapat berubah menjadi kesulitan esok hari, atau bisa terangkat menjadi kesejahteraan. Begitu pula hubungan sosial, jabatan, kedudukan, atau status sosial, semua hanyalah titipan yang sewaktu-waktu dapat berakhir. Bahkan, hidup manusia itu sendiri pada akhirnya akan berhenti dengan datangnya kematian. Kesadaran ini menjadi pengingat bahwa segala hal yang kita anggap permanen hanyalah bersifat sementara.
Pemahaman tentang ketidakabadian sesungguhnya membawa hikmah yang mendalam. Pertama, ia mengajarkan manusia untuk tidak terlalu melekat pada dunia. Harta, jabatan, dan relasi sosial memang penting, tetapi bukanlah fondasi utama dalam menentukan nilai hidup seseorang. Dengan menyadari bahwa semua itu bisa hilang kapan saja, manusia didorong untuk bersikap rendah hati ketika berada di atas, serta tetap sabar dan ikhlas ketika berada di bawah. Orang yang mengerti bahwa jabatan dan harta bukan segalanya tidak akan mudah sombong, karena ia tahu semua itu bisa sirna dalam sekejap.
Kedua, kesadaran akan ketidakabadian menumbuhkan rasa syukur. Saat masih memiliki pasangan, sahabat, keluarga, kesehatan, atau jabatan, nikmatilah keberadaannya dengan sebaik mungkin. Jangan menunda untuk berbuat baik, jangan menahan ucapan maaf atau terima kasih, karena kita tidak pernah tahu kapan semuanya berubah. Ada banyak orang yang menyesal ketika kehilangan seseorang atau sesuatu, bukan karena kehilangan itu sendiri, tetapi karena belum sempat menunjukkan rasa cinta, perhatian, dan kebaikan yang seharusnya mereka lakukan ketika kesempatan masih ada.
Ketiga, ketidakabadian hidup mengingatkan manusia untuk menanamkan nilai yang lebih kekal seperti akhlak, amal baik, dan kontribusi positif bagi orang lain. Itulah warisan sejati yang tidak akan hilang meskipun harta berpindah tangan atau jabatan berakhir. Nama baik dan kebaikan hati akan selalu dikenang, bahkan setelah seseorang tiada. Tidak sedikit orang yang mungkin hidup sederhana tanpa kekayaan berlimpah, tetapi dikenang sepanjang masa karena kebaikan, ketulusan, dan manfaat yang mereka tinggalkan. Hal ini menunjukkan bahwa keabadian sejati justru terletak pada hal-hal yang bersifat non material.
Keempat, menyadari bahwa tidak ada yang abadi menjadikan hidup lebih bermakna. Waktu yang terbatas mendorong manusia untuk menghargai setiap detik kehidupan. Pertemuan dan perpisahan, suka dan duka, naik dan turun adalah bagian dari siklus kehidupan yang harus diterima dengan lapang dada. Dengan memahami hal ini, manusia tidak lagi membuang waktu untuk iri, dengki, atau membenci, karena sadar bahwa semuanya hanyalah fase sementara. Yang lebih penting adalah bagaimana mengisi kehidupan dengan kebaikan, kasih sayang, dan kontribusi positif.
Kesadaran akan ketidakabadian juga menumbuhkan sikap legawa ketika kehilangan. Banyak orang terjebak dalam kesedihan berlarut-larut karena tidak bisa menerima kenyataan. Padahal, jika dipahami sejak awal bahwa semua di dunia ini hanyalah titipan, maka kehilangan tidak lagi dirasakan sebagai akhir dari segalanya, melainkan sebagai bagian dari perjalanan hidup yang memang sudah digariskan. Rasa ikhlas inilah yang membuat manusia lebih kuat menghadapi perubahan dan lebih tenang menjalani hidup.
Ketidakabadian dunia juga menjadi pengingat bahwa manusia harus mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Kehidupan dunia hanyalah persinggahan sementara, sementara kehidupan setelah mati bersifat kekal. Oleh karena itu, orang yang bijak akan menggunakan kesempatan hidup di dunia ini untuk mengumpulkan bekal amal, memperbaiki akhlak, dan berbuat kebaikan kepada sesama. Dengan demikian, meskipun hidup di dunia ini tidak abadi, manusia bisa meraih keabadian yang sesungguhnya melalui amal baiknya. Dengan semua pemahaman ini, menyadari bahwa tiada yang abadi bukanlah alasan untuk putus asa atau apatis. Justru sebaliknya, kesadaran ini menjadi motivasi untuk lebih bijak dalam menyikapi hidup. Setiap ujian dan kebahagiaan adalah bagian dari proses pendewasaan. Setiap kehilangan adalah pengingat untuk lebih menghargai apa yang ada. Setiap pertemuan adalah kesempatan untuk menebar kebaikan.
Pada akhirnya, yang abadi bukanlah harta, jabatan, atau hubungan duniawi, melainkan nilai, amal, dan ketulusan yang kita tinggalkan. Manusia akan dikenang bukan karena rumah megah atau jabatan tinggi, tetapi karena seberapa besar manfaat yang pernah ia berikan kepada sesama. Dengan demikian, meski hidup ini penuh dengan perubahan dan ketidak abadian, kita tetap bisa menghadirkan makna dan keabadian sejati melalui kebaikan yang tidak pernah lekang oleh waktu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI