Tahun ajaran baru untuk anak-anak kita baru saja dimulai. Anak-anak yang baru memasuki bangku sekolah diliputi histeria, antara senang bercampur cemas dan ingin tahu. Anak-anak sekolah yang di waktu libur dapat bermalas-malasan kini kembali harus bangun pagi. Mereka juga diliputi kegembiraan untuk bertemu dengan teman-temannya, sekaligus bayang-bayang kesulitan berbagai pelajaran ikut menggelantung di benak mereka.Â
Namun tahun ajaran 2015 ini ada hal baru, meski sebenarnya stok lama : kembalinya pendidikan budi pekerti di sekolah. Pemerintah Jokowi tampaknya memiliki alasan kuat untuk kembali menghidupkan pendidikan budi pekerti ini. Kita sebagai orang tua tentunya juga memiliki perspektif tersendiri tentang hal itu.
Sdh lama masyarakat kita punya pendapat diam diam bhw baik itu bodoh, sekaligus punya amalan untuk berlaku sebaliknya. Bahkan para orang tua seringkali menegur anaknya yang terlalu dermawan dengan mengatakan : "bodoh kamu". Supaya tak dianggap bodoh lalu kita belajar untuk "pinter-pinteran" meski pinter-pinteran itu juga telah seringkali membuat kita mengakali agama, hukum, amanat rakyat dan sesama kita terdekat secara jahat. Kita bahkan justru sering terheran heran dan curiga Jika menemui orang baik.
Kita semua tahu bahwa inti pendidikan budi pekerti adalah agar manusia Indonesia menjadi berhikmat, mampu membedakan yang baik dari yang buruk, menjadi insan kamil yang memandang diri sebagai bagian dari tatanan (alam) semesta. Dengan budi pekerti, diharapkan terwujudnya visi kemanusiaan yg beradab (pada tataran individual) dan visi politik berbangsa yg berhikmat. Barangkali inilah sebabnya para pendiri bangsa meletakkan perjalanan bangsa ini di atas landasan "Kemanusiaan yang beradab" dan "Hikmat Kebijaksanaan".
Perjalanan kebangsaan kita tidak cukup dilandaskan kepada pinter-pinteran (=siasat) yg akhirnya menjadi akal mengakali banyak hal seperti tersebut di atas. Kehidupan sosial kita tidak hanya dibangun atas dasar kekuatan pikiran, tetapi juga kekuatan keyakinan bahwa "berkat Allah Yang Maha Kuasa" dan "keinginan2 luhur" sebagai bagian utama dan integral dari kehidupan pribadi dan Indonesia yang berkeadilan sosial.
Tantangan ke-insankamil-an kini semakin berat, ketika melalui gadget2 sebuah "dunia" telah ditambahkan kepada dunia yg sesungguhnya. Tdk harus dikhawatirkan memang, namun hal ini mengubah paradigma generasi sekarang ttg tatanan semesta. Sebagai orang tua, tentu saja kita bergembira dg dicanangkannya kembali pendidikan budi pekerti di sekolah. Kerinduan para orangtua utk menyaksikan insan insan kamil Indonesia di penghujung usia, setidaknya sedikit terobati.